12 Maret 2010

Estetika Puitika dan Hajat Katarsis

Oleh Khrisna Pabichara

Semata Pembuka
PUISI, sebagaimana tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah gubahan bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus, sehingga mempertajam pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus dari pembacanya. Dengan demikian, jelaslah bahwa lelaku “pemuisi” harus serius menawarkan karyanya. Seandainya puisi dapat diibaratkan sebagai “sajian makanan”, maka puisi haruslah menggiurkan, mengenyangkan, dan menyehatkan, sebagai bentuk pembangunan makna rasa bahasa.

Menggiurkan berarti puisi mestilah tidak pernah lepas dari konteks ruang-waktu yang menyertainya, namun atas dasar pencapaian estetika sastrawi tetap menyertakan kebaruan. Meskipun, misalnya, puisi menghadirkan kejadian-kejadian sepele dalam hidup yang menyehari, puisi—semestinya—harus tetap konkret dan membentangkan suasana dengan kuat dan hidup. Artinya, puisi layak menyodorkan kemasan yang merangsang hajat pembacaan. Jika tidak, maka puisi menjadi sebentuk istana megah tak berpenghuni.

Mengenyangkan, dalam hal ini, berarti puisi harus diracik atas dasar benar-tidaknya puisi itu secara gramatikal dan atau lebih kerap kita sebut sebagai ada-tidaknya kohesi dan koherensi puisi itu. Jika kohesi adalah keserasian hubungan unsur-unsur dalam puisi, maka koherensi adalah kepaduan puisi dalam membawa ide tertentu yang dapat dipahami oleh khalayak pembaca. Dengan demikian, puisi yang salah-kaprah dapat membuat pembacanya mual-mual dan muntah-muntah.

Menyehatkan, berarti puisi mesti sanggup mengusung “hajat perubahan” dengan tawaran nilai-nilai yang disajikannya. Puisi bukan semata buah keterampilan artistik atau inovasi linguistik, melainkan suguhan yang bisa menggetarkan dan menggugah. Bahkan, jika bisa, mengubah. Kita sadari bahwa mengalami sesuatu adalah—sengaja atau tidak—bertaut ke dalam “suasana” yang ditawarkan oleh sebuah puisi, sebuah ruang lain dari kehidupan yang kerap terabaikan dan terlupakan. Puisi adalah ruang imaji yang hidup, bongkah ingatan yang menyembukan kita dari ketidakpedulian dan ketumpulan rasa.
Begitulah. Puisi bukan perkara sepele untuk dilahirkan dari lelaku ala-kadar saja.

Semata Fakta
JIKA kita sanggup berbesar hati, maka kita akan mengakui betapa Chairil Anwar—sengaja atau tidak—menyalakan bara revolusi lewat puisi-puisi heroiknya. Begitu pula dengan Rendra yang sanggup mengobarkan bara perlawanan pada rezim yang berkuasa melalui puisi-puisi pamfletnya. Atau, jangan kita abaikan Widji Thukul yang dahsyat menyulut bara pembangkangan lewat puisi-puisi “nakal”-nya.

Harapan itu pula yang mendasari hasrat pembacaan kami terhadap puisi-puisi Abah Yoyok. Ketika membaca puisi Siapa Bilang Rakyat Indonesia Miskin, kami—Jaksa Penuntut Umum—berharap bisa disembuhkan dari kegetiran yang meruah sehari-hari di sekitar kita. Tapi, kenyataan tak memuaskan harapan kami. Makna yang ditawarkan Abah Yoyok lewat puisi tersebut, tak lebih dari perbincangan biasa yang dapat dengan mudah kita dengarkan di warung kaki-lima, di pusat perbelanjaan megah, bahkan di tempat-tempat peribadatan. Bahwa di Republik Tercinta ini yang kaya semakin kaya, itu bukan rahasia lagi. Bahwa pejabat Negara melintasi jalan bebas hambatan dengan mobil mewah berharga miliaran, itu juga bukan isu baru. Jadi, sama sekali tak ada pencerahan nilai baru yang ditawarkan oleh Abah Yoyok dalam puisi ini. Maka, atas dasar ayat positivisme dan bersandar pada kohensi dan koherensi, tak layaklah Siapa Bilang Rakyat Indonesia Miskin ini disebut puisi.

Hal sama terjadi manakala kami membedah puisi Ternyata Kita Juga Suka. Jika merunut pada ayat Jonathan Culler dalam kitabnya Structuralist Poetics, Sutrukturalism, Linguistics, and the Study of Literature (1977, 114), makna dalam karya sastra—entah itu puisi atau prosa—pada umumnya memang bukan makna pertama, melainkan lebih bersifat second-order semiotic system atau lebih menyaran pada sistem makna tingkat kedua. Fakta yang terlihat dari puisi ini, kita disuguhi makna secara sangat terbuka, sehingga tak lagi ada sisa untuk ruang permenungan. Maka, tulisan ini lebih layak dinamakan catatan harian yang sarat curhat ketimbang puisi yang menawarkan rupa-rupa makna.

Lebih menyedihkan lagi ketika kami mendedah makna yang diimbuhkan Abah Yoyok ke dalam puisinya, Salah. Menurut hukum Halliday, bahasa—termasuk di dalamnya puisi—memiliki tiga fungsi, yakni ideasional, tekstual, dan interpersonal (Leech & Short, 1981:33). Berbicara makna, fungsi interpersonal menyangkut hubungan antara bahasa dengan pemakaiannya yang dapat meliputi fungsi afektif, emotif, dan persuasif. Chairil, Rendra, dan Thukul pun menyuarakan kegelisahan hatinya, tetapi dengan cara yang elegan—luwes tapi tajam. Dengan demikian, dengan penuh ketakziman, kami menyatakan bahwa puisi Salah belum mengusung tugas puisi secara utuh.

Semata Tuntutan
BERDASARKAN telisik dan tilik hukum yang kami paparkan di atas, maka kami—Jaksa Penuntut Umum—Handoko F. Zainsam dan Khrisna Pabichara, dengan ini menuntut terdakwa Abah Yoyok dengan tuntutan tidak menciptakan puisi selama sekurang-kurangnya sepuluh bulan dan mengayakan kecerdasan estetikanya melalui lelaku pembacaan teori dan karya sastra bermutu. Dengan demikian, kelak setelah melewati masa hukuman, Abah Yoyok sanggup menyajikan puisi yang diriuhi makna. Puisi yang. Menggiurkan, mengenyangkan, dan menyehatkan. Puisi yang menggetarkan, mengubah, dan menggugah.
Demikian tuntutan ini disampaikan.

Cipondoh, 6 Maret 2010
Jaksa Penuntut Umum
Khrisna Pabichara & Handoko F. Zainsam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar