19 Maret 2010

Catatan Ana Mustamin: Sastra untuk Siapa?

(sebuah catatan dari diskusi buku "Tukang Bunga & Burung Gagak")


MANAKAH yang lebih penting, dunia yang dicerminkan cerpen, atau cerpen sebagai cermin itu sendiri?

Pertanyaan itu dilontarkan Seno Gumira Adjidarma (SGA) yang bertindak sebagai narasumber dalam diskusi buku kumpulan cerpen “Tukang Bunga & Burung Gagak (TBBG)” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu 13 Maret 2010.

Sayang, pertanyaan menarik itu hanya menguar di udara. Pengunjung diskusi tampaknya tidak terlalu tertarik menyoal hal itu. Mereka lebih tertarik pada hal-hal yang masih bersifat elementer: bagaimana proses kreatif seorang penulis fiksi, apa yang ingin dicapai penulis melalui karya-karyanya, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan normatif, yang tentu saja akan memperoleh jawaban-jawaban yang normatif pula.

Tapi sebagai bagian dari penulis TBBG, tentu saja apa yang dipertanyakan SGA tidak menguap begitu saja di benak saya. Pertanyaan itu bahkan terus mendengung hingga saya pulang dan berkubang di kamar. Jika cerpen boleh diandaikan sebagai cermin, setelah membaca kumpulan cerpen TBBG, dunia macam apakah kira-kira yang telah dicerminkannya?

Bukan pertanyaan mudah, tentu. Terutama ketika kembali menoleh pada histori lahirnya kumcer ini. TBBG semula hanya omong-omong iseng saya melalui blackberry dengan mas KJ (Kurniawan Junaedhie). Saya curhat soal keteledoran saya untuk tidak mengarsip dengan baik karya-karya fiksi saya di sejumlah media. Saya menulis fiksi ketika masih berusia belasan tahun, tapi saya nyaris tidak menyimpan rekam-jejak itu.

Dari omong-omong itu, saya dan mas KJ akhirnya sepakat ‘mengabadikan’ karya yang bisa ‘terselamatkan’dalam sebuah kumpulan cerpen. Dan agar buku ini sekaligus menjadi ‘reuni’ sejumlah sahabat, saya mengontak Mas Didi (Kurnia Effendi) dan Mbak Agnes Majestika. Setidaknya, “Menyimpan buku lebih mudah dibandingkan menyimpan majalah dan (apalagi) suratkabar,” kata Mas KJ.

Hasilnya? Bisa ditebak. Buku ini tidak tematis. Juga tidak melalui proses kurasi yang mendalam. Tapi, saya ingin menggarisbawahi, bahwa hal itu tidak berarti kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana pun, kami berempat adalah penulis yang sangat peduli dengan kualitas karya ketimbang kuantitas (paling tidak dibuktikan dengan sejumlah hasil lomba menulis fiksi). Dan cerpen-cerpen itu adalah cerpen-cerpen yang sebagian besar sudah dimuat oleh media massa (dan karenanya melewati proses seleksi yang cukup ketat dari redaktur media masing-masing).


Sastra Pop dan Bukan Pop


Kendati demikian, tetap saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan gugatan. Terutama jika dikaitkan dengan apa yang disepakati oleh sejumlah orang tertentu sebagai “karya sastra”.

“Boleh setuju atau tidak setuju, Tapi saya ingin menyatakan bahwa ini masih tergolong apa yang kita sebut sebagai ‘sastra pop’,” kata seorang peserta diskusi yang kemudian saya tahu bernama Edy Effendi. Ia lalu merujuk pada karya-karya semacam ”Laskar Pelangi” atau ”Ayat-ayat Cinta” yang dinilainya selamanya tidak akan pernah dikategorikan ’karya sastra’.

Agus Noor bahkan menegaskan bahwa sebuah karya sastra biasanya menarik perhatian jika ia menyalahi konvensi yang ada. “Ada bentuk-bentuk baru yang ditawarkan,” katanya. (meski ia mengaku baru membaca 1 cerpen TBBG di facebook mas KJ).

Anda pun boleh setuju atau tidak pada apa yang dilontarkan keduanya. Tapi, sebagai penulis, terus-terang, pernyataan dua orang inilah yang paling menarik buat saya (di samping telaahan SGA, tentu saja) sepanjang diskusi.

Perdebatan tentang apa itu ‘sastra pop’ dan ‘sastra bukan pop’ (sastra serius? sastra yang benar-benar sastra?) sudah saya dengar sejak pertama kali terjun dalam ranah penulisan fiksi – lebih dari 2 dekade silam. Saya pernah mengemukakan hal yang sama ke salah seorang wartawan senior yang banyak membaca karya saya saat itu. “Apa yang salah pada tulisan-tulisan popular? Mengapa sastra pop seolah derajatnya lebih rendah dibandingkan dengan ‘sastra bukan pop’? Apakah itu berarti bahwa ‘sastra pop’ dibuat lebih mudah dan enteng, dan sebaliknya ‘sastra serius’ lebih sulit dan berat?” Padahal, seperti yang ditulis mas Kurnia Effendi (Kef) di buku TBBG, “Tak ada niat untuk sembarangan. Menulis bagi saya, adalah sebuah dedikasi penuh cinta dan rasa hormat.”

Menjawab pertanyaan saya, wartawan itu hanya menjawab singkat. “Teruslah menulis, dan jangan pernah pusing dan terpengaruh dengan dikotomi-dikotomi itu. Apakah pembaca pernah memusingkan ini karya ‘sastra pop’ dan ini ‘sastra bukan pop’? Mereka hanya peduli apa yang kamu tulis itu memiliki nilai atau tidak bagi mereka.”

Sejak itu, saya menyudahi kegamangan saya. Saya memutuskan menulis saja apa yang mendesak ingin ditetaskan dari benak saya. Menulis dengan sungguh-sungguh, memberikan yang terbaik yang saya punyai saat itu. Menulis tanpa pretensi berlebihan, kecuali sebuah bentuk dedikasi kepada kehidupan. Menjauh dari sekadar keinginan ’gagah-gagahan’ – agar bisa menyandang gelar ’sastrawan’. Dalam batin saya, tugas saya hanya menulis. Selebihnya, biarlah publik yang menilai.

Kendati demikian, hal itu tidak menyurutkan keinginan saya untuk memahami sastra secara lebih dalam, membaca karya-karya sastra terbaik, dan – terutama – membaca ulasan dari mereka yang menyebut diri sebagai kritikus sastra.

Tapi sastra untuk siapa? Di republik ini, saya hanya sering merasa kritikus semakin pintar untuk memilah-milah mana karya sastra dan mana yang bukan – berdasarkan parameter-parameter yang tidak selalu rigid. Kadang-kadang saya memergoki seseorang ditasbihkan menjadi ‘sastrawan’ hanya lantaran ia menetas di tengah-tengah komunitas yang menyebut dirinya ‘pelaku dan pemerhati sastra’ – meski jika ditelisik, karyanya tidak ada bedanya dengan apa yang sering digolongkan ‘sastra pop’. Atau sebaliknya, karena sibuk menyodorkan bentuk-bentuk baru – sebagaimana yang diinginkan Agus Noor – guna mendapatkan tiket gelar ‘sastrawan’, lalu menjadi lupa atau bahkan gagal merumuskan isi (content). Sastra di Indonesia, dalam hemat saya, tidak melulu tentang kualitas karya itu sendiri, tapi juga menyangkut hegemoni antar pelaku (atau kadang-kadang dengan bukan pelaku).

Sastra untuk siapa? Masyarakat awam tidak paham. Yang mereka paham, karya itu memiliki nilai bagi mereka atau tidak, mewakili pikiran dan perasaan mereka atau tidak. Para kritikus dan (sebagian yang menyebut diri mereka sastrawan) pandai memilah dan melekatkan label ‘ini karya sastra dan bukan sastra’, tapi lupa mendidik masyarakat untuk memahami parameter, konvensi, atau dalil sebagaimana yang mereka yakini sebagai karya sastra – sebagaimana yang mungkin tertuang dalam literatur-literatur sastra. Akibatnya, sebagian besar sastrawan kita tetap berumah di atas angin, teralienasi dari lingkungannya. Ekslusif di kantong-kantong komunitas tertentu, dan nyaris tak tersentuh dengan dunia di luar komunitas sastra karena secara sadar mereka membatasi diri untuk itu.Dalam kondisi demikian, apakah dunia sastra dalam pemahaman itu lantas memiliki arti penting bagi peningkatan kualitas kemanusiaan? Kapan sastrawan dan karya mereka bisa dinikmati dan didiskusikan masyarakat awam di kedai-kedai kopi sebagaimana masyarakat di berbagai belahan dunia mengecap dan menghidu karya para maestro sastra?


Tafsir atau Pembermaknaan

Atas semua itu, tentu mengesankan bagi saya ketika SGA akhirnya hadir tidak dalam bingkai pembahasan tentang dikotomi ’sastra pop’ dan ’sastra bukan pop’, ’sastra konvensional’ dan ’sastra non konvensional’. Ia mengusung isu yang menurut saya lebih substansial. Karena menggunakan pendekatan pembacaan intertekstual dan multidisipliner. Menurut SGA, pembaca berhak sepenuhnya mengolah pembermaknaannya masing-masing, membebaskan cerpen atau apa saja dari kriteria “sastra”.

Salah satu bukti atas pembebasan itu (dan tentu mengesankan saya secara pribadi) adalah ketika SGA secara positif dan spontan membandingkan gaya kepenulisan saya dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu saat menyoal isu perempuan mutakhir dalam cerpen bertajuk ”Dahaga”.

Mengapa perbandingan itu harus dengan Ayu dan Djenar – dua nama yang disebut-sebut sebagai sastrawan perempuan fenomenal? Mengapa tidak diperbandingkan dengan penulis perempuan yang berada dalam ranah sastra pop – jika cerpen saya dianggap sebagai bagian dari ’sastra pop’? Apakah karena SGA jarang mengonsumsi sastra pop hingga ia tidak tahu harus merujuk kepada siapa?

Apapun dalihnya, itu tidak penting. Yang terlihat, secara faktual, apa yang dianggap oleh sebagian orang sebagai ’sastra pop’ toh bisa bicara sama substantifnya dengan ’sastra bukan pop’.

”... tidak dapat saya ingkari bahwa “Dahaga” menempatkan dirinya dalam posisi penting, dalam hubungannya dengan perbincangan mitos tentang perempuan,” tutur SGA.

Menurutnya, konflik batin yang dapat diikuti dalam cerpen saya ini, tidak menutupi kehancuran mitos baru yang telah dibangun tokohnya di atas mitos lama: dengan pernyataan perempuan tidak wajib menikah dan tidak wajib punya anak, tokoh ”aku” telah menghancurkan mitos lama perempuan sebagai alat reproduksi; tetapi mitos baru bahwa perempuan mandiri mampu melepaskan diri dari ketergantungan kepada lelaki, dihancurkannya sendiri untuk kembali kepada mitos yang paling purba, bahwa desakan tubuh mengatasi penalaran dan mendapat pembenaran.

Cerpen ini, tulis SGA dalam catatan pengantarnya, berakhir dengan konflik batin, jadi pembaca dapat mengetahui betapa tiada makna yang dapat sungguh-sungguh menetap. Tergantung dari sudut mana memandangnya, pembaca dapat mengolah pembermaknaannya sendiri, apakah tokoh perempuan dalam cerpen “Dahaga” ini “kalah” karena mengorbankan prinsip, atau “menang” karena akhirnya mampu untuk menjadi tidak lagi munafik — dan dalam hal ini pula pembermaknaan pembaca yang dapat dipertanggungjawabkan tidak perlu ada yang “benar” maupun yang “salah”.

Nah, mendengar dan membaca catatan SGA ini, apakah yang disebut ”sastra” lantas tidak memiliki urgensi sama sekali? Tentu tidak demikian.

”Betapapun yang dibaca adalah tulisan, dan melalui tulisan itulah segala sesuatu ditafsirkan dalam pembermaknaan,” kata SGA. Jadi, bukan semata bentuk atau cara penyampaian. Tapi tidak kalah pentingnya, adalah substansi isi dari cerpen itu sendiri – bagaimana pembaca melakukan pembedaan antara “dunia yang dicerminkan cerpen” dan “cerpen sebagai cermin itu sendiri”, sebuah pembedaan konseptual yang dapat berlaku untuk tulisan yang sama — yang pertama berurusan dengan mitos, yang kedua berurusan dengan teks; dalam keduanya sudah terbangun tradisi pembermaknaannya masing-masing.

Dalam bahasa awam, kata SGA, membaca cerpen itu tidak perlu terikat kepada kriteria apapun — tidak ada benar dan salah, tidak ada indah dan tak-indah (atau dalam kesimpulan saya – bukan soal ’sastra pop’ atau ’sastra bukan pop’). Tetapi bagi pembaca pastilah ada suka dan tidak suka, karena wacana pembacalah yang menentukan makna, sedangkan wacana setiap pembaca itu tak mungkin persis sama.

Nah, apakah Anda bersepakat dengan SGA? ***


Aneka komentar:

Kurniawan Junaedhie
stempel anita-nya terlalu kental. hehehehe
18 Maret jam 0:04 •

Ana Mustamin
@kj: "stempel" itu, apakah harus disyukuri atau disesali? :-)
18 Maret jam 0:07

Benny Tjundawan
Sudah menjadi kewajiban kritikus utk mengeritik, sudah menjadi kewajiban penulis utk menulis.teruskan lah, kau bernyanyi,,,
18 Maret jam 0:12 melalui Facebook Seluler

Agus Noor
Ana: mungkin saya perlu sedikit mengklarifikasi pernyataan saya.
pertama, mestilah difahami, betapa situasi dan kondisi acara itu "sangat cair dan terbuka". Sebagian yg datang, saya yakin, juga blm membaca. Dalam situasi seperti itu, bagaimana mungkin kita mengharapkan respon yang "dalam dan komprehensip" dari diskusi itu, terlebih hasil pembacaan SGA?

Kedua, seingat saya, saya tidak menyatakan bahwa "saya belum menemukan" bentuk-bentuk baru dalam buku TBBG itu. Saat itu saya berbicara, soal "bagaimanakah sebuah karya" menarik bagi seorang pembaca, dalam hal ini saya. Nah, dalam konteks itu, bagi saya (sebagai pembaca), maka saya selalu menyukai "karya yang melawan konvensi".

Apa yg say maksud konvensi, saat itu sesungguhnya tradisi yang ada, atau kecenderungan yang ada. Sastra yang baik (bagi seorang pembaca seperti saya) adalah karya yang membuat saya "merakugan konvensi yang saya yakini", atau kecenderungan umum yang ada.

Benar, seperti kata SGA, karya yang sederhana pun "bisa menjadi punya daya ganggu", semacam tawaran untuk meragukan konvensi yang ada. Misalkan ada konvensi "satra harus absurd", maka karya yang realis dan cenderung berkisah biasa-biasa saja, akan mengganggu konvensi itu. menggangu dalam artian mengajak kita untuk meragukan konvensi itu....

Nah, dalam konteks itu-lah, saya memberi contoh satu cerpen, yg jadi judul antologi itu: bahwa Tukang bunga dan burung gagak" menjadi menarik, karena ia membuat saya diajak untuk menafsirkan kembali apa yang selama ini saya sebut sebagai kausalitas, alur dan logika cerita. Ada upaya main-main, menafsir ulang situasi dan realitas, yang membuat saya jadi menyukainya. Ini, tentu saja, tidak berarti bahwa cerpen yang lain tidak baik (dan saya yakin, saya tidak menyebut itu dalam diskusi". karena yang saya katakan, bahwa saya "menyukai cerpen "Tukang bunga dan burung gagak" karena cerpen itu, seolah mengganggu konvensi (pembacaan dan keyakinan sastra saya).
Setiap pembaca punya otoritas pemaknaan, persis seperti kata SGA. Di sanalah kontestasi pemaknaan antarpembaca terjadi. Persoalannya bukan pop atau bukan pop, tetap apakan karya itu, bisa mengganggu, menggoda, atau merangsang pembaca untuk terus-menerus meragukan konvensi (seleranya) estetisnya.
Nah, sastra, menjadi menarik sebenarnya karna itu: ia memberi ruang bagi kita untuk meragukan, menunda kesimpulan, menawar kembali konvensi-konvensi yang ada. karna kalao tidak, konvensi itu, saya takut, akan menjadi kebenaran tunggal.
Kira-kira begitu...
18 Maret jam 1:19

Agus Noor
Nah, persoalannya, kenapa dalam kontenstasi pembacaan itu, kemudian muncul pewacanaan soal "sastra pop" dan "serius"? kenapa, dalam sejarah sastra kita, selalu memberi tempat pengkajian dan pewacanaan yang lebih "besar" kepada YB Mangunwijaya, misalnya, ketimbang Marga T? Siapa yang salah? kritikus sastra? ataukan justru anggapan pembaca itu sendiri?
Ini mirip dengan: kenapa kita "menganggap" jazz lebih keren dan berkelas ketimbang dangdut?

Tidak ada benar dan salah dalam sastra, tidak ada baik atau buruk dalam sastra-- kita bisa menerima itu. tetapi, kenapa dalam tingkat wacana, bahkan praktik, kita bisa menganggap Horison lbh hebat ketimbang Anita? kenapa dulu para penulis remaja (seperti kita semasa Anita) punya mimpi untuk menulis dan dimuat Horison? Apa akar ini semua? Kenapa, launcing buku TB&BG diadakan di PDS HB Jassin, tidak di Warung Tegal (warteg)? saya kira jawabannya bukan soal tekhnis...
jawabannya, mungkin pada akar pemikiran dan keyakinan kita soal sastra... atau pada keyakinan kita pada apa "konvensi" perihal apa itu sastra...
18 Maret jam 1:27

Foeza Hutabarat
terlalu lama "frame remaja" itu melekat...sadar betul ketika menulis, tak bisa keluar dari kerangka itu, dalam lingkar pembaca yg sudah dibentuk. KJ keluar dari pakem itu, tak terjebak memaniskan kata dan ungkapan kalimat yg sekadar memanjakan pembaca yg sudah terbentuk tadi."Dahaga" punya tema yg apik di tengah persoalan perempuan masa kini, bahwa hidup tak cuma di seputar dapur, ranjang dan menunggu amplop dari suami.

Pop dan Sastra? Dua lebel ini selalu jadi "gelisah" bagi para penulis ketika karya itu coba dibedah, meski ujungnya seperti kata Seno, bagi pembaca yg ada suka atau tak suka. Misal, ketika saya sodorkan karya YB Mangunwijaya, Danarto, Putu Wijaya dan Perahu Kertas-nya Dewi Lestari, istri saya lebih suka Perahu Kertas, dan ia "terpukau" di dalamnya...
18 Maret jam 9:13

Ilenk Rembulan
sebg pembaca sek. sypun kadang juga bingung dng pengelompokan ini, hanya berusaha memahami saja dari tehnik penulis itu menuangkan dlm karya, kalau pop oo begini...kl realis sosialis ooo begini, surealis gini....ya pd akhirnya seperti SGA juga pd pembaca akhir karya itu bs dipahami atau tidak,
bg sy yg awalnya dulu terbiasa membaca misal karya milan kumdera, tentunya membaca yg rada ngepop atau ringan realis gampang dicerna dan mengutip tulisan mas AN konvensi pada umumnya tentu akan lain ketika menikmati atau menilai bacaan yg menabrak konvensi umum , dan sy akan memilih yg menabrak pakem , tp ada jg pembaca yg suka dng yg ringan sesuai dng slogan dia membaca adalah hiburan, kl diberi yg rada berat dikit mereka tdk suka.... tinggal pengarangnya saja sek..bagaimana membuat tema untuk pembaca mana dng tehnik penceritaan yg bgm, krn kadang syopun jg iseng baca karya teenlit sekedar pengen tak mau terlalu letih membaca, pop ringan atau bermemory ria masa remaja misalnya, walau tak membeli namun cukup membaca di toko buku...
18 Maret jam 9:43

Endah Sulwesi
Sastra untuk siapa? Masyarakat awam tidak paham. Yang mereka paham, karya itu memiliki nilai bagi mereka atau tidak, mewakili pikiran dan perasaan mereka atau tidak.

Na, terlepas dari penggolongan "sastra pop" dan sastra serius", jangan terus2an menganggap masyakarat pembaca kita tidak paham apa-apa loh. Mereka semakin pintar dan kritis dalam memilih bacaan. Maksudku, apa pun jenis sastranya, buatlah dengan baik kalau tidak ingin ditinggalkan pembaca :)

Hidup sastra! (bak yang serius maupun yang pop)
18 Maret jam 10:07

Susy Ayu
Menurutku, yang terpenting adalah seorang penulis harus mampu menghasilkan tulisan yang mensugesti pembacanya, di mana pesan pesan itu tersampaikan.Soal menabrak pakem atau tidak, kupikir itu adalah sebuah teknik, banyak yang mampu menbarak pakem..tapi gak jelas ke mana arah nabraknya...banyak yg konvensional saja, namun kuat dan tepat sasaran. pada cerpen TK&BG, Kurniawan Junaedhie memang telah mampu memiliki keduanya, teknik yang unik sekaligus mampu mensugesti pembaca.

"sastra" atau" pop" itu adalah bentuk nafas dr penulisnya, dan nafas itu berkembang sesuai kematangan, seperti halnya selera. Dulu aku sangat suka dgn cerita pop, namun berjalannya waktu tidak banyak lagi cerita pop yang berselera kubaca hingga selesai. Yang membuat ngiler adalah tulisan Khaled Hoseini, Milan Kundera dkk...namun juga favorite dgn tulisan Dewi Lestari.

Sebab itu, menurutku, penulis yang berhasil adalah yang mampu menulis dgn berbagai bentuk, sastra atau ngepop, dgn alur yang unik atau konvensional, menabrak logika atau tidak, ringan atau "berat" dan mampu mensugesti pembaca hingga pesan pesan penulis tersampaikan dgn tepat. tetapi perlu dipertimbangkan dalam menampilkan sebuah tulisan, di mana kita meletakkan tulisan yg ngepop dan yg sastra, harus jeli menempatkannya....

Sukses untuk penulis2 di buku ini, jujur aku paling suka "TB&BG" dan" Dahaga". Ditunggu buku berikutnya, dgn cerpen2 yang dahsyat! Nun sewu ya..ini semata mata dari pikiranku..jadi hanya "menurutku", sebagai penikmat bukan pengamat....tapi bukankah pengamat segala tulisan juga berangkat dr penikmat? gimana bisa mengamati dgn tepat kalo menikmati saja gak bisa hehehe
18 Maret jam 10:38

Ana Mustamin
@agus noor: pertama, saya menerima klarifikasi mas agus, dan akan mengoreksi tulisan saya. mungkin karena mas agus menyampaikannya setengah jenaka karena menggunakan analogi 'dinda' dalam menjelaskan konvensi itu, hingga saya sedikit bias.

kedua, saya tidak sedang membantah pemilahan tentang sastra pop dan serius - berikut konvensi dan kesepakatan yang menyertainya. karena itu memang riil. secara pribadi, saya juga tidak berusaha mati-matian untuk sok nyastra hanya untuk sekadar 'naik peringkat' misalnya. saya mengakui bahwa memang ada suatu kesepakatan-kesepakatan tertentu yang membuat kita merumuskan "ini pop" dan "ini serius".

yang saya gugat adalah 'keserampangan' kita dalam memberi label. pertama, dalam hal memberi nilai sebuah tulisan "yang ini pop, yang ini serius". menurutku, kita kerap memberlakukan standar ganda. atau, barangkali karena konvensi itu memang senantiasa berkembang? saya rasa, akan lebih baik jika tidak gegabah. ...

kedua, saya tidak sepakat utk menganggap yang 'serius' lebih tinggi derajatnya dibanding yang 'pop'. karena ini akan sangat tergantung kepada siapa yang melekatkan stigma. bagi penggemar jazz, boleh jadi ia menganggap dangdut itu kelas kampung. tapi penggemar dangdut, jazz itu mungkin hanya sebuah musik antah-berantah. ini hanya soal pilihan. karena tidak semua pemain jazz bisa memainkan dangdut, dan tidak semua dangduters bisa bermain jazz. atau, sebaliknya. saya ingin kita bersikap humble, membuka segala kemungkinan tafsir. karena sejarah, suatu ketika, boleh jadi mencatat posisi michael jacson sebagai icon pop sama baiknya dengan seorang mozart atau beethoven, misalnya. who knows? seorang marga t, mungkin tdak mendapatkan porsi bahasan yang lebih "besar" dibandingkan "mangunwijaya", misalnya. tapi itu 'kan kita bicara tafsir dari sisi komunitas sastra serius. bagaimana kalau posisi itu dibalik, tafsir itu disampaikan oleh pemerhati sastra pop?

ketiga, ini sebetulnya semacam otokritik. mengapa sastrawan indonesia hidup ekslusif. di barat, kita kerap menjumpai momen-momen apresiasi yang dilakukan masyarakat awam terhadap sastrawan mereka - pembacaaan karya monumental di kedai-kedai kopi tanpa melibatkan atau berlarat-larat dengan stempel 'komunitas sastra'. pembaca awam di sana ikut berdialektika dengan karya sastrawan, seperti penggemar lagu pop memuja-muja superstar mereka. mengapa itu tidak terjadi di Indonesia? di sini kita melakukan tafsir dan berteriak tentang segala hal menyangkut "sastra yang bermutu" dan "yang tidak". tapi begitu keluar dari komunitas sastra, hanya menjadi sesuatu yang menguar di udara? saya rasa, ini pe-er bersama yang harus dituntaskan sebelum akhirnya mengajak orang bersepakat tentang apa itu "karya sastra" dan "yang bukan" ...
18 Maret jam 11:56

Ana Mustamin
@foeza & ilenk: itu yang membuat telaah SGA mengesankan buat saya. karena ia tidak menggunakan pendekatan dikotomi 'pop' dan 'serius', tapi lebih kepada pembermaknaan. dan bukankah, sesungguhnya itu yang 'sampai' ke pembaca, terlepas dengan cara apa kita 'memasak'nya?
18 Maret jam 12:05

Ana Mustamin
@endah: "tidak paham" itu tidak sama dan tidak sebangun dengan "tidak kritis" dan "tidak pintar".

contoh sederhana, seorang teman saya, lulusan terbaik S2 dari sebuah sekolah bisnis terkemuka, seorang yang mengaku motivator dan pembicara publik, dosen, dan konsultan bisnis, tapi tidak paham dan tidak memahami karya pramudya ananta toer! ini kisah nyata.

apa yang salah? tidak ada. bukan pada teman saya yang "tidak paham" meskipun dia "kritis" dan "pintar" dengan buku bacaan seabrek. persoalannya adalah, karena teman saya itu "awam" terhadap sastra.

jadi jangan membandingkan dengan endah sebagai "pembaca" dengan "pembaca awam". endah adalah pembaca yang berada di lingkaran komunitas sastra, kerap mengetahui apa yang ada di balik dapur penciptaan sebuah karya sastra.

tapi bayangkanlah pembaca kita di luar sana yang tidak pernah bersentuhan dengan dispilin ilmu dan/atau komunitas sastra, yang membaca sastra semata-mata karena buku itu datang (atau didatangkan) ke hadapannya. it's ok?
18 Maret jam 12:13

Ana Mustamin
@susy: setuju 100%, sayang.bentuk dan isi, menurut saya sama pentingnya. jika kita mengikuti telaah SGA, kita akan sampai ke muara bahwa "dunia yang dicerminkan cerpen" umumnya masih berada dalam wilayah apa yang sering kita sebut "sastra pop", dan "cerpen sebagai cermin itu sendiri" umumnya berada pada wilayah yang sering kita sebut "sastra serius... tentu, ada pengecualian-pengecualian. tapi, katakanlah itu semacam kecenderungan atau agregasi ... ini menurut saya lho...
hanya, pendekatan ini lebih saya sukai lantaran lebih mudah dijadikan parameter untuk memeriksa sebuah karya apakah "serius" atau "tidak".
jika menggunakan parameter "pakem", ya seperti kata mas agus, pakem itu akan terus didobrak, dan akan menemukan pakem baru. atau, seperti kata saya dan susy, karena terlalu sibuk menawarkan bentuk, hingga lupa dan gagal dalam merumuskan pesan (isi).
parameter lainnya, lebih sering menghasilkan tafsir ganda dan (di indonesia atau lebih khusus jakarta) sering bersifat 'longgar' untuk orang-orang yang secara 'genetis' mewarisi darah sastra atau besar di lingkungan sastra...
18 Maret jam 12:39

Saut Poltak Tambunan
Tahun 80-an dikotomi tentang'sastra - bukan sastra' juga ramai. Dalam seminar HUT VI Himpunan Pengarang AKSARA thn '87, Jacob Sumarjo mengemukakan 3 golongan dalam sastra: Sastra avant garde, sastra main stream (keduanya masuk sastra konvensional) dan sastra populer.

Sastra avant garde yang non konvensional dan kadang diberi label eksperimental, merupakan sastra rintisan yang hanya difahami oleh sedikit orang. Kalau rintisan ini berhasil, dia akan menjadi sastra mainstream.

Tetapi menurut Sumarjo, ketika itu, sejarah sastra populer di Indonesia lebih panjang dibanding sastra mainstream. Sastra populer sudah ditulis sejak tahun 1875 dalam bahasa Melayu Rendah.

Menulis memang bukan pekerjaan mainan. Tapi juga bukan domain akademisi dan essais. Jadi menulislah sebaik yang kau bisa, karena menulis itu ibadah. Berbahagialah jika makna dan pesan dalam tulisanmu sampai kepada stakeholder-mu, entah lewat avant garde, main stream atau populer.
18 Maret jam 12:42

Ana Mustamin
@benny: setuju. tugas penulis adalah menulis. tugas kritikus memberi kritik. keduanya mengembangkan hubungan simbiosis mutualisme ... :-)
18 Maret jam 12:45

Agus Noor
Ana: yap saya setuju dengans emua point itu. tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, semua itu hanyalah "kontestasi wacana". nah, CELAKANYA: dalam kontestasi itu yang selalu punya peluang untuk "menampilkan diri" aadalah "kelas intelektual", "kelas menengah', "penguasa media", "politisi" dll. Contoh soal jazz dan dangdut. Secara kontentasi wacana, jazz lebih memiliki punya peluang untuk :dianggap berkelas" karena ia didukung kelas menengah, akses bisnis, lobi politis dan media. Ga mungkin lah, pentas dangdut di kampung di liput besar-besaran media kita (karena pentas dangdut di kampung itu TIDAK PUNYA AKSES MEDIA, bukan karena dangdut lebih rendah derajatnya.

soak ekskusifisme sastrawan:SERATUS PERSEN SAYA SETUJU dengan kamu. Pertanyaannya: kenapa launcing buku kamu itu juga ekslusif? kenapa di PDS, yang merupakan simbol dan pemroduksi wacana sastra? bertahun-tahaun saya selalu menghindari ekslusifisme seperti itu: bahwa kalau buku sastra dibicarakan di pusat sastra, oleh sastrawan kondang, dan dihadiri sasstrawan (itu semua kan yang terjadi di launcing kemarin?).

Sudah saatnya pembacaan sastra juga diserahkan ke orang luar sastra. Biarkan ibu rumah tangga ngomong, menjadi nara sumber, ga perlu SGA, misalnya. Sebab, kalau dipersandingkan dengan SGA, sudah pasti, dalam konteks KONTESTASI WACANA, si ibu rumah tangga itu pasti akan "kalah kelas" dalam artian: Saya yakin: apabila ada si anu ngomong sastra, sementara seorang sastrawan besar ngomong sastra, yang dikutip oleh media: pasti pernyataan si sastrawan besar itu. Apa ini artinya? Itulah kenyataan kontestasi yang tak imbang, dan itulah yang membuat terus ada stigma dan cara pandang "rendak atau tidak rendak", sastra atau bukan sastra...s
18 Maret jam 12:57

Ana Mustamin
@SPT: bang, seingat saya, pertama kali saya mengajukan 'gugatan' kepada wartawan yang saya ceritakan di note di atas, itu sekitar tahun 1987. saat-saat ketika saya masih berasyik-masyuk dengan majalah anita, gadis, dan sepantarannya.
saat itu, hampir semua teman-teman saya yang menyebut dirinya 'sastrawan' menulis cerpen di koran daerah, dan saya..., satu dari sedikit penulis makassar yang menulis di majalah remaja yg terbit di jakarta. lalu, mereka bilang, saya penganut 'sastra pop'.
tapi sejak perbincangan itu, saya tidak pernah memusingkan dengan segala-macam label itu. saya hanya menulis, sesuka saya.
terima kasih karena bang SPT melengkapi pengetahuan saya tentang avant garde dan sastra mainstream ...
hidup sastra!!!
18 Maret jam 13:28

Nurhady Sirimorok
menarik sekali!
18 Maret jam 13:31

Ana Mustamin
@agus noor: sebenarnya launching TBBG itu sudah dilakukan pada 14 februari 2010 di ulang tahun asosiasi penulis cerita (anita), mas. jadi yg kemaren itu, bukan launching, tapi semata diskusi.
mengapa PDS? saya malah tidak memikirkan soal ekslusivitas, kecuali bahwa tempat itu sudah dikenal dan mudah diakses oleh audiens. semula, rencananya, diskusi itu kami gelar di sebuah kafe. tapi kemudian khawatir, justru sebagian org menganggap tempat itu ekslusif hingga enggan datang.
pemilihan SGA sebenarnya juga bagian dari keinginan kami untuk melihat buku itu dari pelbagai perspektif. bagaimana orang sastra 'membaca' TBBG.
kami masih akan menggelar diskusi di luar pusat sastra, dengan pembicara yg mungkin tergolong penikmat sastra populer.
saya kira, kami menikmati semua perspektif itu, dan akan memperkaya proses penulisan kami berikutnya.
terima kasih banyak karena mas agus memberikan atensi. salam takzim.
18 Maret jam 13:34

Ana Mustamin
@nurhady: menarik? ayo dong, kasih pencerahan ... :-)
18 Maret jam 13:36

Nurhady Sirimorok
Ana: malah diskusi ini mencerahkan bagi saya. diskusi yang hangat kritis namun ada 'pertukaran pendapat', dan sangat informatif. ya, dan saya setuju sebagian besar poin2 diskusi ini. misalnya, kritikus itu kerjanya memang menulis ulasan karya. dan para penulis sastra boleh terima atau tidak terima, tidak perlu merasa terintimidasi. lagi pula kritikus juga manusia biasa kok, gak bisa tahu segala hal tentang sastra, apalagi dunia di luar sastra.

penulis juga boleh memilih kritikus mana yang mau dia 'dengar', dan mana yang dia abaikan saja. Nah, di sinilah letaknya politik sastra itu, karena kritikus tertentu dengan dukungan media, memang bisa 'membentuk selera', atau manufacturing consent' kata Noam Chomsky. karena masih banyak orang percaya pada media cetak mainstream (nasional), bahwa mereka akan menayangkan karya terbaik setiap minggunya, maka ke sanalah arah banyak penggemar sastra melihat.

jadi, kalau sudah bisa merobohkan 'benteng' itu sehingga tidak lagi menjadi rujukan utama, atau setidaknya membuatnya lebih demokratis dengan mengganti redaktur sastranya tiap bulan, dan menggilir mereka dari kelompok2 dari 'aliran' berbeda, saat itu kita baru bisa bernafas lega, dan 'konvensi' yang disebut di atas mungkin bisa lebih beragam.

soal sosialisasi sastra, ini memang pelik, kita tidak cuma berhadapan dengan pembaca yang kurang mengkonsumsi sastra, tetapi juga bersaing dengan tv, dan media audio visual lain, yang banyak membunuh bibit budaya baca. dst.

tentang pertentangan dua titik ekstrim, 'isi' dan 'bentuk', yang saya heran, kok gak jarang sekali ada diskusi tentang memadukannya (sehingga bisa dinikmati lebih banyak pembaca), dan bukan hanya sekedar mendebatkan keunggulan masing2, dan mereproduksinya dalam karya yang terlalu condong ke 'isi' atau sebaliknya terlalu mendewakan 'bentuk'. saya misalnya adalah pembaca yang biasanya mencari 'isi', malah kadang capek membaca karya yang tidak mengindahkan 'bentuk', apalagi yang hanya mengelus-elus bentuk dan isinya ternyata ulangan2 dari teori2 atau kesimpulan2 yang sudah banyak kita baca di tempat lain, atau malah sudah banyak terbantahkan. seperti pengejawantahan teori feminisme radikal kelas menengah amerika, yang banyak muncul di karya penulis perempuan kita, yang sudah banyak dibantah oleh karya2 dari para feminis 'gelombang ke tiga', yang banyak mengangkat kondisi perempuan rural di negara2 berkembang--yang lebih cocok dengan kondisi banyak perempuan indonesia (berapa sih jumlah perempuan urban kelas menengah indonesia dibandingkan perempuan miskin rural?)
18 Maret jam 14:20

Iksaka Banu
Inilah dikotomi yg selalu terjadi di dunia kreatif. Sama seperti polemik 'seni utk seni' atau 'seni utk umum' yg dulu diributkan oleh Theophile Gautier, Edgar Allan Poe, Sudjojono, Basoeki Abdullah dkk.
Dan memang bukan persoalan mudah semenjak batasannya begitu kabur (atau dikaburkan?).
Sastra yg baik itu yg gimana? Yang menghasilkan decak kagum karena pencapaian keindahan bahasanya melewati konvensi 'keindahan umum' (common good), ataukah justru yg mampu menghibur banyak orang/umum (dan dengan sendirinya menghasilkan banyak uang)? Saya rasa semua benar. Semua cuma soal kodifikasi-rekodifikasi, dan pemilihan target audiens.
18 Maret jam 14:23

Hendry Ch Bangun
wah saya merasa tertinggal 20 tahun membaca diskusi menarik ini. adu gagasannya memikat. saya kira realitasnya memang ada sastra serius dan sastra pop, ada yang kelas raja ada yang kelas punggawa, ada yang jenius ada yang sekadar pengikut. tapi tokh pembaca juga punya kelas, sehingga tiap karya punya segmen sendiri, pemuja sendiri. dan orang tidak bisa kita larang berpendapat. benar kata teman-teman di atas, menulislah biar karya itu yang akan berbicara dan menempatkan diri di mana kelasnya.memang pastiu ada batasan yang universal, diakui oleh parade ahli, entah itu di tanah air kita atau dari luar, mana karya yang benar sastra mana yang bukan. tapi apakah itu lalu mengganggu kreativitas, ya janganlah. tetap semangat..
18 Maret jam 14:26

Ida Ahdiah
Waduh, menyesal sekali saya tak bisa hadir dalam diskusi menarik ini karena tiba2 ada acara ke Cirebon. Perdebatan itu rupanya belum reda pula. Telah lama saya mengambil sikap, menulis sebaik dan semampu saya,, terserah pembaca hendak menggolongkan saya ke kelas mana. Sedangkan sebagai pembaca, saya cenderung memilih buku karena saya suka isi dan bahasa yang digunakannya, yang berasal dari beragam 'kelas' mengambil istilah Bang Hendry. Hayuu terus menulis!
18 Maret jam 16:33

Wahyudianto Sonybono
Banyak pendekatan dalam menilai sebuah fiksi, pragmatis salah satunya. Dimana respon pembaca merupakan hal yang paling penting, atau pendekatan2 lainnya.

Kembali kepada selera, karena pendekatan pun metode juga bisa sangat dipengaruhi cara bernalar seseorang. Sastra, bukan sastra itu bisa seperti sebuah tahayul, kadangkala bersifat goib. Bisa kita rasakan tapi tak bisa dirumuskan dengan tepat.

Belum lagi rentang waktu dan periodisasi. Karenanya, menetukan sastra dan bukan sastra seringkali bukanlah hal mudah. Tetapi harus diakui, politik hegemoni seringkali ikut berperan besar dalam pelabelan sastra dan bukan sastra.

Membaca adalah menemukan menulis adalah menemukan dan memproyeksikannya kembali secara re-kreasional. Jadilah bagi yang merasa 'penulis' teruslah mengkreasi dan me-rekreasi. Semakin banyak tehnik yang bisa dicapai lambat laun akan terus menghasilkan pun me-rekreasi pencapaian-pencapaian baru.

Sastra itu bagi saya tetep merupakan misteri, meskipun seringkali bahkan kritikus berbeda pendekatan dan bersengketa tentang kebersastraan sebuah karya fiksi; pada suatu titik juga seringkali sepakat tentang nilai kebersastraan sebuah fiksi. Bisa dirasakan tapi seringkali gagal dicapai rumusan akhir. Seperti halnya dikotomi sastra bukan sastra, yang selalu menarik untuk diperdebatkan tetapi selalu gagal ditarik rumusannya dengan jelas.

Yah itulah sastra, betapa mbulet dan capek dewh... tapi tetep mengasyikkan dan terus mengganggu...
18 Maret jam 17:27

Sigit Susanto
Sejak Homer (9 SM) mulai memakai kertas, kita mengamini. Meskipun ada bentuk terbaru dengan rekaman CD, tapi format konvensional kertas masih berlaku mayoritas. Menyerempet ulasan Kang Agus Noor, perihal menabrak format konvensional corak tulisan. Menurutku, bukan saja dari segi corak tulisan, kalau ingin tabraktabrakan....namun bisa juga dimulai sejak dari format buku. Kenapa harus buku? Jika tujuan utamanya hendak dibaca publik? Kenapa tidak dalam bentuk lisan atau kalau dalam Antologi puisi, kenapa tidak menempelkan saja potongan kertas fotokopian puisi di tiang-tiang listrik dan telepon. Misalnya, dilakukan penyair Helmuth di Wina ini:
http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=29

Sebab itu pemilihan kertas, kemasan, tempat diskusi dan pembicara, merupakan siklus politik seni yang kapitalistik. Ada nilai tawar di sana. Dalam dunia sastra sekarang, sepertinya sudah menjadi kelayakan. Sastra bukan lagi digelar secara lisan, seperti pra Homer, yang sekarang masih dipraktikkan di negeri Arab, misalnya di alun-alun Djemaa el Fna, Maroko. Sang pencerita duduk dikelilingi para pendengar. Usai cerita, kaleng diedarkan, guna menjemput koin-koin sebagai royalti dini. Singkatnya sastra sudah menjadi bagian dari roda industri ekonomi.

Terkait dengan sastra pop dan serius, menurutku, masing-masing akan menemui pembacanya sendiri. Ditilik dari sejarahnya, sastra pop masih terlalu muda, sejak tahun 1940-1950 di USA dan tahun 1968 di Jerman. Dalam perkembangannya sastra pop menjadi produksi massal. Cepat ditulis, diproduksi dan dijual. Sastra serius menulisnya lebih lama. Günter Grass rata-rata 1 novel memerlukan 3-4 tahun. Ulysses, 8 tahun. Sebab itu sistem ekonomi yang kapitalistik sekarang lebih menyukai sastra pop daripada sastra serius (klasik modern). Ketika masih muda membaca sastra pop, setelah berangkat dewasa dan tua membaca sastra serius. Lengkap sudah hidup ini. Sastra pop biasanya bersifat menghibur (Unterhaltung). Dengan kata lain; easy comes, easy goes. Sebaliknya ciri-ciri sastra serius, membutuhkan keseriusan tertentu. Dan jika usai baca, tak mudah terlupakan dalam waktu tertentu. Baris-barisnya pun sering dibicarakan ulang, bahkan dijadikan aforisme.
18 Maret jam 18:07

Dedy Tri Riyadi
Beberapa saat yang lalu, saya menengok blog seorang kawan (www.berbagi-mimpi.info). Dia mencatat pengalamannya membaca sebuah novel punk(http://berbagi-mimpi.info/sastra.php/sastra/kitab-the-punk-by-gideon-sams). Yang mungkin di Indonesia belum ada yang menuliskannya, padahal anak-anak punk sering berkeliaran di jalanan Jakarta. Menurut dia, novel itu dari sisi bentuk, judul, jumlah halaman, dan - apalagi - ceritanya betul-betul gamblang bercerita soal punk generation. Kawan ini pernah membahas juga persoalan dikotomi sastra pop / bukan pop. Dan menurut dia, yang saya juga setuju, pengkutuban seperti itu tidaklah berarti bagi para pembaca. Persoalannya - dan para sastrawan - sebuah novel atau cerpen atau karya sastra akan berarti jika dia mengandung dua nilai utama : dulce et utile. Selebihnya tidak jadi masalah, selama pembaca bisa menikmati keindahan bahasa dan mengambil hikmah atau pesan yang dimaksudkan pengarangnya. Hemat saya sih, bebaskanlah pembaca memilih bahan bacaannya. Soal pop atau tidak pop hanya soal pendekatan belaka.
18 Maret jam 18:55

Maman S Mahayana
Pertanyaan Seno: MANAKAH yang lebih penting, dunia yang dicerminkan cerpen, atau cerpen sebagai cermin itu sendiri? sesungguhnya metaforis. Dalam konteks sastra, tentu saja keduanya penting. Yang mesti dikejar dari pertanyaan itu adalah: apakah cerpen dapat berfungsi sebagai "potret" kehidupan atau cukup sekadar "potret" diri pengalaman individual penulisnya. Jika sebagai "potret" kehidupan, maka cerpen penting artinya sebagai pewarta pengalaman individual yang sesungguhnya merepresentasikan problem kemanusiaan. Jika sekadar sebagai potret "diri", apakah ia menawarkan sesuatu yang menjadikan pembacanya ngeh, sadar, marah, empati-simpati, sehingga memaksanya berpihak atau tidak berpihak pada tokoh-tokoh yang digambarkannya. Jika seno mengurai panjang lebar tentang keseluruhan cerpen itu, maka pancingannya agar audiens membaca langsung antologi itu, cenderung gagal. Itulah sebabnya, menurut hemat saya, Seno bertindak bijak dengan menawarkan berbagai kemungkinan tafsir. Silakan pembaca membaca sendiri karya itu dan melakukan tafsirnya. Cara itu mengingatkan saya pada gaya HB Jassin atau Sapardi Djoko Damono. Itulah salah satu tugas kritikus, yaitu memancing agar pembaca menyelami sendiri karya yang dibincangkan. Bahwa nanti dijumpai sejumlah kekurangan, ya tidak apa-apa, wong itu karya sastra, dan yang memperlihatkan kekurangannya, juga bertebaran dala karya-karya lain. Jadi, silakan saja nikmati.
Jika Seno tak menghubungkaitkan cerpen itu dengan sastra pop dan sastra serius, karena memang wilayahnya bukan di sana. Jika Edy (salah seorang peserta) memasukkan cerpen-cerpen itu sebagai sastra pop, ya tidak apa-apa, itu hak dia. Tetapi, apakah dia jelaskan juga alasannya. Esai Seno kan tak punya pretensi semangat mengecam. Jadi kalau ada yang mengecam, ya tidak apa-apa juga. Menurut saya, keseluruhan cerpen dalam antologi itu semuanya baik (baik bukan sebagai pernyataan Tino Sidin). Narasinya lancar mengalir sebagai dasar cerpen. Keseluruhannya juga tak menabukan makna tunggal, tokoh-tokohnya tak stereotipe, konfliknya (dalam beberapa cerpen) bisa sangat problematik (Seno mengambil contoh cerpen "Dahaga") Lho, konflik itu kan berbeda dengan semangat yang diusung Jenar atau Ayu. Jadi, ia tak tergolong epigon (dalam sastra populer, penyelesaiannya akan dilakukan secara gampangan). Atas dasar apa itu dikatakan sastra populer?
Di luar persoalan itu, karena ada singgungan soal kritikus, perlu saya sampaikan di sini, bahwa komentar-komentar itu semua adalah bentuk kritik (sastra) mesti bersifat umum. Dalam hal ini, siapa pun punya hak untuk menjadi kritikus, meski ia tidak berlatar belakang pendidikan sastra. Jadi, janganlah menempatkan kritikus itu harus lulusan fakultas sastra dengan istilah yang canggih-canggih. Esai-esai Gunawan Mohamad (seks sastra kita), Sutardji CB (Isyarat), Ignas Kleden dan mereka yang tak berlatar pendidikan sastra, tokh esai sastranya bagus-bagus. Esai Agus Noor, Acep Zamzam Noor, Damhuri Muhammad, itu esai sastra yang bagus, dan mereka patut disebut kritikus. Laporan jurnalistik tentang seni yang ditulis Ilham Khoiri (kompas), itu juga masuk kategori kritik (umum). Jadi, jangan mempersempit makna kritikus. Juga jangan mendewakan kritikus. Wong dia juga belajar dari sastrawan. Jika ada yang cuma bisa mengecam, apalagi menghujat, tanpa argumen, tanpa semangat apresiatif, ya itu masuk kategori cacimaki.
Saya kebetulan dapat kiriman antologi cerpen itu. Jadi, tentang cerpen-cerpennya, itu PR saya yang masih saya kerjakan. Jadi maafkanlah jika lambat selesainya. Trims Bung KJ dan kawan-kawannya. Jangan salah, saya juga belajar dari antologi cerpen itu.
18 Maret jam 19:54

Maman S Mahayana
Tambahan: Tulisan "Sastra untuk Siapa" itu juga termasuk kritik sastra umum. Esai yang bagus, meski tak dapat meninggalkan kesan sebagai pembelaan.
18 Maret jam 20:00

Ana Mustamin
@nurhady: saya setuju untuk semua poin yg ditulis. perihal media mainstream yg seolah menjadi kiblat bagi semua, saya percaya bahwa sedikitnya akan mengalami penurunan gradasi dg semakin cairnya hubungan antar pelaku akibat kemudahan teknologi komunikasi. saya percaya, diskusi-diskusi semacam ini juga memberi kontribusi mewarnai pandangan-pandangan dan konvensi yang selama ini terbentuk.

kita bisa melihat di dunia media secara umum. kebangkitan citizen jurnalism misalnya, lalu kehadiran social media, sedikitnya akan menurunkan power media mainstream, karena masyarakat pembaca ternyata memiliki opsi lain. di bidang produksi pun, dulu sastra 'yang baik' dimonopoli oleh penerbit besar dengan kelompok toko bukunya. tapi sekarang penerbitan indie dengan pola marketing yang memanfaatkan social media, mulai mengusik kemapanan penerbit besar.

oya, cerpen "dahaga" saya, meskipun menyoal persoalan perempuan urban, tp cerpen ini jusrtru menjadi semacam 'olok-olok' bagi para feminis yang selama ini merasa paling independen. dan musuh terbesar yang saya ciptakan bukan berasal dari dunia laki-laki atau lingkungan di luar sana, melainkan dari tubuhnya sendiri...
19 Maret jam 10:49

Ana Mustamin
@banu: fenomena ini bukan hanya di dunia kreatif sebetulnya, mas. bahkan dalam dunia ekonomi internasional. kalau kita melongok ke bursa saham misalnya, maka apa yang kita anggap sebagai saham 'blue chip' seringkali tidak mewakili nilai sejati dari underlying assets-nya. ada hegemoni antar pelaku (yang menurut saya jauh lebih dahsyat), yang biasanya justru dimainkan oleh spekulan-spekulan kelas kakap. kita selalu mendengar ada saham yang 'digoreng' sehingga nilainya bisa mendadak meningkat tajam, atau sebaliknya terjun bebas.

fenomena ini juga melanda dunia seni lukis. lukisan yang bernilai tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitasnya. karena sering terjadi hegemoni antara kurator, investor, dan pelukis itu sendiri.
jadi, seni untuki seni itu sendiri, atau seni untuk dikonsumsi, batasnya samar-samar. kualitas boleh jadi hanya semacam 'pseudo'.
19 Maret jam 10:58

Ana Mustamin
@ida: pantesan saya nyari-nyari gak ketemu hidung mbak ida. hehe. rupanya ke cirebon. padahal, saya udah mau nodong buku. ok mbak, saya kira kita sepakat untuk terus menulis. menulis sebagai katarsis, dan menulis sebagai dedikasi...
19 Maret jam 11:05

Mega Vristian
Wow! suka sekali membaca diskusi ini. Lanjut kawan saya nyimak dengan cerma.
19 Maret jam 14:18

Ana Mustamin
@hendry: tidak ada kata terlambat utk diskusi, bang. hehe. o iya, sepakat bahwa pembaca juga punya kelas masing-masing - yang ternyata tidak selalu sama dengan orientasi, pengkategorian dan pelabelan dari pihak-pihak yang memproduksi bahan bacaan ...
19 Maret jam 17:15

Ana Mustamin
@wahyudianto: ya, menarik yg cak bono sampaikan. selalu sepakat untuk menyatakan ada dikotomi, tapi selalu gagal untuk dirumuskan dengan jelas. barangkali, karena kita tidak sedang berurusan dengan 'benda mati'. sastra adalah produk pikiran manusia. baik yang merumuskan maupun yang menerima sama-sama punya persepsi dengan latar perpekstif masing-masing, dan karenanya dengan filter konseptual yang tidak selalu bekerja dan berproses sama. sejatinya, kita selalu melihat segala sesuatu yang ada di dunia ini dengan cara 'cacat', dengan bias pandangan. dan justru karena itu diskusi-diskusi semacam ini menjadi punya magnet tersendiri. mari terus berkreasi dan melakukan re-kreasi. sesungguhnya tak pernah ada yang benar-benar 'orisinil', kecuali ciptaan-Nya.
19 Maret jam 17:16

Ana Mustamin
@sigit: saya selalu memperoleh informasi baru tentang kegiatan sastra di belahan dunia lain, tiap kali membaca tulisan mas sigit. sekaligus merasa iri. perihal sosialisasi sastra yg ditulis nurhady, saya rasa di negara lain pun, para penggiat buku (dan sastra khususnya) juga bersaing dengan sihir televisi, dan media audio visual lain yang membuat minat baca mengalami erosi luar biasa. tapi mereka bisa menemukan cara-cara kreatif untuk mensosialisasikan karya sastra. saya ingat cerita mas sigit tentang kegiatan tur sastra - semacam napak tilas ke tempat-tempat bersejarah para maestro sastra, atau tempat-tempat yang pernah menjadi setting dalam karya sastra yang terkenal. kalau saja di indonesia, bisa ditumbuhkan kegiatan-kegiatan seperti itu. tapi apa mungkin, ketika dihadapkan kenyataan betapa sastrawan dan pembacanya demikian berjarak? dan betapa para sastrawan 'serius' dan 'pop' masih sibuk mengkotak-kotakkan diri?
19 Maret jam 17:29

Ana Mustamin
@dedy: informasi yang menarik, ded. saya sudah pernah sedikit mendengar ttg punk generation. tapi mendengar mereka menerbitkan buku yang mereka labeli 'novel punk', baru kali ini. ntar meluncur deh ke link-nya. kurasa, mereka pasti gak butuh pengakuan apakah novel mereka diakui sebagai bagian dari sastra atau tidak - seperti halnya para penulis sastra serius. namanya generasi punk 'kan? hehe...
19 Maret jam 17:36

Kurnia Effendi
sepanjang saya mengikuti perbincangan apa pun di fesbuk, secara subyektif saya menilai diskusi ini paling menarik, bukan karena di dalamnya dibicarakan buku kami, dan salah satu pengarangnya adalah saya. bukan pula karena yang memancing dengan tulisan responsif atas makalah SGA adalah ryana mustamin, sahabat saya sejak 1986. tapi sungguh lantaran saya menerima banyak ilmu dari peserta diskusi informal (yang secara murah hati memberikan beberapa statement formal)
sudah sejak lama saya merasa diolok-olok oleh ahmad syubhanudin alwi, penyair cirebon, dalam pelbagai pertemuan di tengah peristiwa sastra. saat mimbar penyair abad 21, pertemuan sastrawan nusantara di kayu tanam, dan sejumlah event lain. ia selalu mengatakan: wah, ini dia pengarang idolaku, pengarang remaja anita cemerlang.
katakanlah ia tulus mengatakan itu, saya juga tidak tersinggung. entah mengapa saya bangga betul pernah bermula dari tiga kawah yang berbeda dan satu di antaranya ranah pop. tiga karya pertama saya dimuat di majalah gadis, majalah aktuil, koran sinar harapan, di tahun yang sama, dan merupakan kiriman pertama.
lalu yang rajin saya gauli adalah gadis dan anita (mungkin karena saya cowok ya). bukankah dari sana pula gus tf berakar? terus terang saya tidak pernah risau dengan pembagian wilayah itu. bahkan ketika budi darma menyatakan tidak perlu ada sastra madya (yang menjembatani karya pop menuju karya sastra), saya juga tidak gelisah. saya lebih menikmati praktiknya. saya menulis cerpen pop dan honornya saya gunakan untuk membeli buku sastra dan berkegiatan sastra. seperti halnya dalam pekerjaan saya di dunia otomotif. suzuki menjual banyak pickup dan angkot untuk mengembangkan riset dan memproduksi mobil kelas high end. nah, jadi secara sejarah, saya sudah sadar menikmati semuanya tanpa harus memasnag topeng. tapi prinsip saya: harus menulis dengan baik. (walau baik ini dapat diperdebatkan, tetapi saya mengimani kemampuan mengendarai bahasa sebagai 'jalan pedang' sastrawan, eh...popwan)
oleh karena itu saya suka dengan arswendo atmowiloto yang piawai menulis beragam tema: kiki & komplotannya, imung detektif cilik, keluarga cemara, opera jakarta, the circus, canting, senopati pamungkas...

lalu saya juga menghormati cara komunitas bungamatahari menyosialisasikan puisi di stasiun gambir, meski ada yang 'merasa' tersinggung. sastra sebagai menara gading sangat sah, menjadi dewa untuk tak disentuh sembarang tangan, karena baru membacanya saja memerlukan keringat dingin. bahkan untuk bertemu pengarangnya saja kita wajib gemetar. kini, pengarang adalah tetangga kita, teman sebangku kita, keponakan kita. pencapaian apa yang telah dilakukan mereka? mungkin salah satunya adalah menawarkan diferensiasi atau melanggar konvensi seperti yang dilontarkan oleh agus noor. saat agus noor mengumumkan prosa mini di koran tempo, saya acungi jempol karena eksperimennya (meski bukan hal yang benar-benar baru) bagus. tetapi, apakah bisa diterima oleh semua khalayak pembaca? maka pernah saya katakan dalam panggung sastra reboan, secara bentuk menarik, tetapi saya yakin akan kesepian di masa depan. artinya, sekalipun film-film quentin tarantino mengundang decak kagum dan mengusik kesadaran terdalam kita, orang banyak masih akan menonton titanic dengan hamburan air mata.

menulis yang baik, itu saja pada akhirnya yang saya perjuangkan. toh ketika saya menulis "bercinta di bawah bulan" berupa satu kalimat yang panjangnya 11 ribu karakter, edy a effendi memerlukan telepon untuk meminta kompromi saya: "pertimbangkan pembaca. ayo diberi titik dan dibuat dalam paragraf-paragraf, agar dapat saya muat di media indonesia..." lalu ketika "air, api, angin, tanah" luput di kompas, sitok srengenge memungutnya untuk jurnal prosa.

sastra dibahas dan dimainkan dalam kereta api atau bis pariwisata, itu dilakukan di swiss (sigit susanto pernah membagi dokumentasinya) dan diikuti oleh apsas dua atau tiga tahun lalu. bagi saya, sastra (dalam level apa pun) sangat menarik jika dianyam dengan kehidupan sehari-hari, karena seperti yang ditelaah oleh seno, cerpen sebagai cermin... nah, fiksi itu cermin realitas, selalu berangkat dari kehidupan dan percikan absurditas yang memang menghuni setiap kepala manusia. fiksi selalu mewakili zamannya oleh karena itu dapat dijadikan 'saksi' sejarah.

TBBG seperti yang dikatakan ryana memang bermula dari upaya dokumentasi. hampir saja dibedah di ultah apsas di yogya, sayang tak ada pengarangnya yang bisa hadir. tetapi nanti, seperti usul agus noor, akan kami coba di hamparan yang lebih heterogen. di pasar festival dan di toko buku di bandung. mungkin perlu di antara teman-teman kantor, di aula SMA, di tengah ibu-ibu pengajian. dengan demikian akan bertambah jawaban untuk pertanyaan: sastra untuk siapa.
19 Maret jam 22:04

Ana Mustamin
@maman: pak maman, terima kasih karena telah menilai ini esai yang bagus, meski tak dapat meninggalkan kesan pembelaan. :-)
ya, pada dasarnya tak seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya bebas dari distorsi jika itu menyangkut dirinya sendiri. tapi saya menyadari betul jika ini saya tulis untuk konsumsi akun pribadi saya di fesbuk.
saya tidak tahu harus mengomentari apa komentar pak maman, karena itu sudah merangkum segala yang kita diskusikan sebelumnya - menyangkut wacana, paradigma, hingga sikap dan keberpihakan. saya hanya bisa berterima kasih karena sudah berkenan mampir dan ikut memberikan pencerahan dalam diskusi ini.
secara pribadi, tentu saja, saya menunggu dan berharap dengan sangat bisa membaca hasil 'pembacaan' pak maman terhadap TBBG. karena pasti akan ada persepktif baru yang ditawarkan di samping perspektif yang sudah disodorkan SGA.
kami - dan terutama saya pribadi, tentu hanya bisa belajar dan belajar terus untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik. salam....
19 Maret jam 23:19

Ana Mustamin
@kef: mas didi, terima kasih udah melengkapi... sastra untuk siapa? TBBG untuk siapa? hehe...
19 Maret jam 23:21

Maulana Afan Dinata
http://azangallery.blogspot.com/2010/03/karya-tulis.html
19 Maret jam 23:44

Raya Henri Batubara
berat tapi bernilai diskusinya.... coba dibuat angket di toko bunga eh buku atau di media cetak, para pembaca lebih milih mana, yg begitu dibaca bikin kening berkerut, makin berkerut krn gak ngerti metafor2 penulisnya,lalu akhirnya melepas tuh bacaan; ketimbang yg bisa dibaca sekali jalan, krn ringan tapi menarik. menurutku yg termasuk pembaca yg maunya sekali jalan ini, di TB&BG, justru ke-4 cerpen KJ lah yang- menurutku ya sekali lagi- nikmat dibaca, dan itu bagiku bukan berarti karya KJ jadi tidak berkelas; 1-2 cerpen dari 3 penulis di situ, kuputuskan utk tidak menamatkannya...sadarlah kini, daya tangkapku segini aja... eh, mbak ana, ngelantur ya opiniku ini?! rame-ramein ajalah. ;-)
20 Maret jam 1:21

Khrisna Pabichara Dua
Perbincangan yang menarik. Bagi saya pribadi, Anita Cemerlang termasuk obat mujarab untuk memenuhi keinginan membaca pada masa SMP-SMA saya dahulu (jarak dari sekolah ke kota kabupaten yang ada kios majalah sekitar 2 jam naik dokar), tidak heran jika AC punya banyak fans dan lecek karena banyak tangan yang mengusiknya. Dan, saya mengagumi banyak penulis Anita, hingga hari ini.

Setiap membaca, saya akan mencari makna dan manfaat apa yang bisa saya dapatkan dari karya sastra apa saja yang saya baca--termasuk cerpen--ketimbang mengotakkelaskannya ke dalam "serius" atau "pop". Sepanjang itu mencerahkan atau mengayakan batin saya, akan saya suka dan terima dengan takzim. Dan, semua karya selalu memiliki sisi mencerahkan atau mengayakan itu, hanya takarannya yang bisa jadi berbeda.

Ketika saya mulai getol belajar menulis cerpen, saya sendiri tidak peduli apakah cerpen saya termasuk populer atau "nyastra". Yang penting karya saya itu bisa diterima, atau dibaca, apalagi jika "mencerahkan" atau "mengayakan" batin para pembaca. Dan, cukuplah itu. Sesudahnya, ya, terus menulis.... Lihat Selengkapnya

Hehehe, jadi kayak curhat nih...
20 Maret jam 6:40

Ana Mustamin
@raya: gak perlu ada angket. wong jelas-jelas satra pop itu bukunya lebih laku dibanding yg serius kok. so, pembaca kayak raya emang paling banyak ... hehehe...
20 Maret jam 22:31

Ana Mustamin
@khrisna: thanks ya khris, curhatnya. semakin kelihatan bahwa banyak penulis yang mengambil posisi seperti kita. menulis saja, yang terbaik. gak usah gagah-gagahan, sok nyastra, hanya karena ingin disebut 'sastrawan'. pembuktian mati-matian justru biasanya mencerminkan kemampuan kita yg terbatas...
20 Maret jam 22:40

Ita Siregar
wow, keren sekali diskusi ini.
@mbak ana: aku ingat resahmu bisikken soal cermin dan cerpen itu, tapi aku tak menyambutnya....
20 Maret jam 23:52

Titi Asdiarti Dinar
Bu Ana, kalau pendapat saya sastra itu gak ada batasan yang mengikat ya, sama seperti cinta, ras, jadi yaah situasional lah gitu ngikutin minat atau trend yang ada terutama apa yang disukai zaman terkini.....semoga sukses dan berbagi saran agar jadi sukses ya Bu.....
Min pukul 21:55

Titi Asdiarti Dinar
Koreksi Bu : sama seperti cinta, rasa (tadi kurang huruf a)...Tks.
Min pukul 21:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar