12 Mei 2009

Kembali Pada Bunga

Oleh : Kurniawan Junaedhie

Waktu Uni masuk ke halaman kantor pos hendak memasukkan sepucuk surat, ia mendengar namanya dipanggil seseorang. Serasa ia hapal betul dengan suara itu. Maka ia cepat menoleh ke arah datangnya suara. Karena hari masih siang, halaman kantor pos itu lengang. Uni segera saja menemukan figure yang berdiri kaku sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri.

“Pierre!” ia berteriak setelah sedetik tertegun. Ia menatap laki-laki bertubuh jangkung dan berambut pirang yang sudah dikenalnya seperti dalam mimpi. Laki-laki itu mengenakan kemeja warna krem yang dihiasi kotak-kotak besar. Dia tersenyum.

Sekejap mereka bertatapan.

“Apa kabar?” tanya laki-laki itu seraya mengulurkan tangan.

Bien!” jawab Uni agak kaku.

Itulah salah satu dari beberapa kata yang dihapalnya sejak berkenalan dengan pemuda Perancis itu.

“Kau tambah cantik,” puji Pierre membuat Uni tersipu, “Bagaimana dengan abangmu? Masih suka ngebut di Ancol?”

Uni hampir tertawa karena Pierremasih mengingat hal itu.

“Tentu saja. Dia akan terserang rematik kalau sehari saja tidak ngebut.”

Pierre mengajaknya masuk ke kantor pos yang letaknya tak jauh dari situ. Mereka memesan dua gelas es jeruk.

“Aku hampir senewen karena kau tak pernah mau membalas surat-suratku. Aku selalu berharap semoga saja itu terjadi karena surat-suratku tak pernah kau terima. Hilang di jalan.”

Uni menunduk.

“Sorry, Pierre. Aku sangat sibuk. Kalau kau di dekatku, kau akan tahu betapa……”

Pierre tersenyum sinis.

“Oh ya, kau belum cerita kapan kau datang. Mengapa kau tidak memberi kabar bahwa kau akan datang?” Uni coba membelokkan arah percakapan.

“Apakah hal itu penting bagimu?”

Uni tersentak. Pierre cepat memotong: “Kalau kau tahu apa yang jadi pikiranku, kau tentu tidak akan bertanya begitu”

“Kalau begitu aku minta maaf,” Uni menjawab dengan kecewa.

“Kukira kau mau menceritakan padaku tentang Le Pantheon atau Montmantre seperti kartupos-kartupos yang kau kirimkan itu.”

Uni menunduk lagi. Pikirannya melayang ke kejadian tiga tahun yang lalu.

Uni mengenal Pierre di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Ia sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata untuk meraih gelar sarjana ekonomi. Tak dinyana di desa itu ia berkenalan dengan Pierre yang sedang mempelajari gamelan. Tadinya Uni menganggap pemuda bule itu sangat angkuh. Tapi pada suatu sore ketika Pierre singgah di pondoknya kesan itu segera hilang. Ternyata dia sangat ramah dan gallant sebagaimana layaknya pemuda Perancis.

“Rumahmu menyenangkan,” gumam Pierre sambil melihat kanan kiri.

Uni cepat memotong: “Ini bukan rumahku, kau jangan salah sangka. Aku di sini mondok. Sesudah tiga bulan aku akan kembali lagi ke kota.”

“Oh ya?” Pierre tertawa ringan lalu asyik mengagumi dua gambar wayang di dinding.

“Ayah semangku menyukainya.” kata Uni. Yang dimaksud dengan ayah semang adalah orang yang ditumpanginya selama menjalani KKN.

“Yang sebelah kiri bernama Bima, sedang sebelah kanannya Samiaji”

Muy bien, bagus sekali.” Pierre memuji.

“Oya, sejak tadi kau belum mengatakan apa yang kira-kira bisa kubantu?” tanya Uni.

Nom de Dieu, demi Tuhan,” sahut Pierre cepat, “Aku hanya ingin berkenalan denganmu.”

Uni hampir memekik karena geli. Ternyata Pierre pintar juga melucu. Namun rupanya yang dikira lucu bermaksud serius.

“Tadi malam aku mimpi. Serasa aku harus berkenalan dengan mahasiswi yang tinggal di samping rumah tempatku tinggal.”

“Wah itu mistik,” pekik Uni dibalut rasa geli.

Pierre lekas sekali jadi sahabat. Hingga dalam waktu yang singkat Uni sudah bisa mengenal tabiat yang terbuka dan suka berterus terang.

Setiap hari Minggu Pierre mengajak Uni ke gereja di kota yang paling dekat dengan desa itu.

“Kurasa aku menyukaimu,” kata Pierre suatu hari sepulang dari gereja.

Uni menjawabnya dengan canda: “Karena aku selalu menerima ajakanmu?”

“Ya, kau memang sangat baik”

“Tapi awas kalau kecewa karena sebenarnya aku tidak seperti yang kau kira,” kata Uni.

“Kau tahu aku menyukai figure siapa dalam wayang?” tanya Pierre.

“Mana aku tahu? Tapi kau jangan memamerkan kehebatanmu dalam hal wayang. Sebab kau datang ke desa ini memang khusus untuk mendalami hal itu, sedang aku kan tidak?”

“Tapi aku sungguh-sungguh,” kata Pierre, “Aku menyukai Dewi Wara Sumbadra.”

“Lalu?” Uni mengangkat dagunya ke atas.

“Dan itu kukira kau Sumbadra dalam alam kehidupan yang nyata ini.” Uni hampir tertawa terpingkal mendengar pengakuan Pierre.

“Kau jangan ngelantur, ada-ada saja,” pekik Uni, “Sebaiknya lupakan wayangmu itu, dan ceritalah tentang keluargamu di Perancis sana. Sejauh ini aku belum pernah mendengar sepotong pun cerita tentang itu.”

Pierre tersenyum. Rasa tegangnya setelah diledek Uni seolah mencair. Dia lalu cerita mengenai keluarganya, Pierre anak bungsu dari tiga bersaudara?” Kedua kakaknya masuk militer dan bekerja di Kedutaan sebagai atase militer. Hanya dia sendiri yang nyeleweng mengikuti arus jadi seniman.

“Barangkali mereka bukan orang Perancis asli ya?” komentar Uni tentang kedua kakak Pierre. “Dan kau memang Perancis tulen?”

Vraioont” serunya senang.

Uni langsung terpingkal-pingkal.

Orang Perancis satu ini sungguh menggelikan, pikirnya. Dia mengaku menyukai lukisan Basuki Abdullah. Jangankan orang Perancis, orang Indonesia pun menyukai lukisan Basuki Abdullah, kata Uni.

Pierre menyukai gudeg Yogya dan soto Betawi. Tentu saja, karena kau belum pernah mencicipi coto Makasar atau soto Kudus, sanggah Uni.

Pierre tahu Uni sering sinis dalam menanggapi ucapan-ucapannya.
Karena itu dia banyak tutup mulut setelah diledek. Waktu berpisah Pierre membungkuk kayak Napoleon dan bilang lain waktu akan bertemu lagi.

****

Hari Minggu itu Uni harus ke Balai Desa. Ia akan memberi penerangan mengenai penggunaan alat kontrasepsi pada ibu-ibu.

Minggu itu adalah minggu terakhir. Sesudah itu KKN nya selesai. Secara kebetulan pula Pierre akan mengakhiri masa belajarnya di desa itu. Mereke bertemu di Balai Desa sesudah pertemuan ibu-ibu selesai.

“Kebetulan kita berjumpa. Aku ingin mengucapkan sesuatu padamu,” kata Pierre.

“Mengucapkan apa?” tanya Uni sembari membereskan berkas-berkas di meja.

“Aku akan pamit.”

“Pulang?”

Pierre mengangguk.

“Besok aku ke Jakarta melapor di Kedutaan, sesudah itu langsung pulang ke Perancis.”

Uni tercenung.

Dipandanginya mata biru Pierre. Tiba-tiba ia merasa terharu. Karena itu ia tak menolak ketika Pierre mengajaknya berkunjung ke tempat pemondokannya.

Rumah tempat Pierre mondok cukup besar. Meski tidak mewah tapi cukup nyaman. Di halaman depan bertengger dua buah tiang bambu yang digayuti sangkar burung. Ketika Uni masuk ke ruang tamu, ia kaget. Di dinding terpampang wajah dirinya dalam sebuah lukisan besar. Pierre menyadari keterkejutan Uni.

“Aku yang melukisnya,” kata Pierre gugup, “kau marah?”

Uni cepat menggeleng.

“Sebaliknya, sungguh bagus. Lebih cantik dari aslinya.” gumam Uni sambil mengamat-amati dari dekat. Tapi ia sungguh heran, darima Pierre mendapat contoh untuk lukisan itu?

“Kau melukis dari sebuah potret?” tanya Uni.

“Aku merasa tak pernah memiliki potretmu. Itu hasil khayalanku.

Kalau kesepian, aku coba melukis wajahmu.”

Pierre menyedu minuman.

Tiba-tiba sesuatu melintas di kepala Uni. Sesuatu yang ganjil dan tidak semestinya. Karena itu ia tidak jadi duduk untuk mengamat-amati lukisan itu dari jauh. Didekatinya Pierre.

“Pierre, apa maksudmu dengan semua ini?” tanyanya dengan marah.

“Kukira kau tahu jawabnya,” sahut Pierre agak gemetar. Ia terus menyedu minuman tanpa perasaan bersalah.

“Apa?” tanya Uni tidak sabar.

“Aku mencintaimu.”

Uni terperanjat.

“Tidak, itu tidak baik untuk kita.”

“Kenapa?” Pierre berhenti menyedu teh.

“Aku sudah punya tunangan. Kukira kau tidak seharusnya begitu. Dia sekarang sedang menungguku. Kau tahu Pierre, aku tidak ingin mengkhianatinya?”

Pierre tersenyum tipis, padahal seharusnya ia terkejut.

“Mungkin aku memang sia-sia,” desisnya pada diri sendiri.

“Jangan bilang begitu,” Uni berusaha menghibur.

“Kau tahu, aku sangat kecewa?” tanya Pierre menatap lurus-lurus wajah Uni.

“Kau tidak pernah memberiku kesempatan berpikir,” desah Uni.

“Ah, tapi itu tidak apa-apa. Kukira sebaiknya memang begitu. Kau tetap setia pada tunanganmu. Aku tak ingin pertunanganmu jadi berantakan karena aku. Kau setuju?” Pierre tersenyum tulus.
Uni menunduk.

“Percintaan sejati tidak selamanya harus dilanjutkan dalam ikatan perkawinan kan?”

“Oh tidak. Kau sangat baik Pierre, aku menyesal,” kata Uni. Lalu ia merasa betapa pipinya jadi hangat karena air mata.

Pierre pura-pura tidak melihat. Sekarang minuman yang dibuatnya sudah selesai, dan ia membawanya ke meja.

“Jangan menangis.” Pierre balik menghibur, “Ayo minum.”

Uni duduk, menerima minumannya.

“Besok aku akan pulang. Dan aku merasa bahagia pernah mengenalmu,” kata Pierre. Uni tak menjawab, hanya menyeka air matanya.

“Kau tak berharap kita akan bertemu lagi?”

“Entahlah,” jawab Uni, “Tapi kau boleh menyurati aku.”

Ketika Pierre bertanya apakah lukisan itu akan disimpan Uni.

Uni menjawab: ”Tidak. Kalau kau suka, bawalah ke negerimu. Aku toh tak dapat memberimu apa-apa Pierre. Kukira itu sudah cukup.”

Uni mencoba tersenyum meski sangat tawar.

“Kenanglah diriku dengan gambar itu,” desisnya.

“Tentu saja.”

Uni tidak mengantar Pierre ke kota. Tapi di rumah pondokannya dia bisa membayangkan bahwa Pierre sedang naik bus ke kota, lalu disambung dengan kereta api dan esoknya ia akan terbang menuju tumpah darahnya.

Selang beberapa hari surat Pierre datang. Dia sudah tiba di Paris. Uni tidak berminat membalasnya, apalagi setelah ia kembali ke kota. Ia sangat sibuk menyelesaikan skripsi. Sementara itu beberapa pucuk surat tetap berdatangan. Uni tak membalasnya sekalipun. Selama hampir setahun surat Pierre tetap berdatangan meski Uni tak pernah menulis balasan sepotong pun.

Dan selama setahun itu memang banyak yang telah terjadi.

Kini Pierre datang lagi, tanpa terduga.

“Bagaimana tunanganmu?” tiba-tiba Pierre memecah lamunan Uni.

“Kami sudah berpisah secara baik-baik.”

Pierre terkejut, tapi tidak memberi komentar apa-apa. Tampaknya dia ikut prihatin.

“Padahal aku berdoa siang malam untuk kalian berdua.”

Gracias, terima kasih. Semoga Tuhan membalas budimu.” Uni tersenyum tipis, “Bagaimana denganmu?”

“Aku masih yakin, kau akan menolakku.”

“Percintaan sejati tidak selamanya harus dilanjutkan dengan ikatan perkawinan kan?” Uni mengulang kata-kata yang diucapkan Pierre setahun yang lalu.

“Tapi aku tidak pernah menyesal mencintaimu.”

“Kukira begitu. Aku juga tidak pernah menyesal berkenalan denganmu, Pierre.”

Tiba-tiba Uni ingin menangis. Tapi Pierre sudah memegang dagunya.

“Kita akan jadi sahabat yang baik, yang mesra dan yang saling mencintai,” bisik Pierre.

Uni hanya mampu mengangguk. Lalu diteguknya minumannya.

Di bawah meja ia meremas surat yang tak jadi diposkan. Untuk Pierre.**

(Kumpulan Cerpen Mentari No. 2, Okt. 1981)