11 Mei 2009

Hujan Dinihari

Oleh: Kurniawan Junaedhie

Pukul enam persis, Aji muncul di pintu. Ditentengnya handbag-nya dengan lesu. Sambil melangkah diperhatikannya ubin yang putih. Tak ada siul. Tak ada dendang. Hari ini memang semua serba sial.

Dia masuk ke ruang kuliah. Tapi kelas kosong. Brengsek betul si Lukman. Capek-capek aku datang untuk pelajaran dia, dia malah tak hadir. Enak betul jadi dosen. Tinggal telepon dan bilang tak bisa hadir karena rumah kebanjiran. Kapan sih hujannya? Masa gerimis saja membuat rumahnya kebanjiran ?

Dan Leila. Hm. Gadis rupawan itu pun sekarang sudah mengunci hatinya. Tentu saja, sejak dia memergoki Aji berpelukan dengan Yani, hati setabah apa pun, hancur juga.

Dan Xenia , sepupunya juga tampaknya sudah sia-sia mengabarkan betapa Aji makin kurus kini. Tapi rupanya Leila memang sudah tak perduli sama sekali. Tak perduli.

“Katakan saja padanya. Mestinya ia bisa merawat dirinya sendiri.” Gusti Allah. Betapa tajamnya nasehat itu. Sekarang Xenia sudah angkat tangan. Malah mulai ikut menyalahkan.

“Engkau pikir saya ini siapa? Dan dia itu siapa?” kata Xenia mencak-mencak, ketika untuk kesekian kalinya diimbau untuk merujukannya. “Kami ini wanita. Nah, mau apa?”

Sia-sia juga Aji menelpon ke rumahnya.

“Leila sudah……sudah tidak tinggal di sini, Ji,” kata Gita, adiknya. “Dia ikut tantenya di Pejompongan. Tapi Pejompongan bagian manapun, sungguh aku tak tahu.”

Peluh dingin menjalari baju katunnya.

Dilemparnya handbagnya ke atas meja.

“Tampangmu kok lesu amat?” Tuti, adik perempuannya mendadak muncul dari kamarnya. Di tangannya resep-resep masakan. Sekolahnya mengadakan ujian masak besok pagi. “Ada apa sih?”

“Si Lukman tak muncul. Capek-capek berebut tempat di bis kota. “Sompret !”

“Hehehe….” Tuti tertawa. “Asik dong.”

“Apanya yang asik?, Tahu begitu aku kan lebih suka tidur di rumah?”

Aji mendengus tak keruan juntrungannya. Dicopotnya sepatunya. Lalu bersijingkat mencari minum dari dalam kulkas.

“Ada surat untukku?” tanyanya pada Tuti.

“Ada satu tuh, untukmu.”

“Dari siapa nih?” Aji mereguk minumnya sambil berjalan menuju meja tulis.

“Mana aku tahu? Nggak ditulis di amplop !”

Aji mengambilnya. Sebuah amplop kabinet putih polos, dengan namanya tertera di atasnya. Tulisan siapa? Tulisan Irma? Ah, tulisan si sableng yang kini di Yogya itu tak serapi ini. Mungkin tulisan si Jojon. Hehehe….. ngapain sih Jojon tulis-tulis surat? Lagipula, masakan tulisan dia? Dia selalu mencong-mencong jika menulis di atas kertas polos. Hehe……

Diguntingnya pinggiran amplop. Tuti mengawasi abangnya dengan pandangan ingin tahu, ketika selembar kertas biru muda muncul dari dalamnya.

“Asoi,” serunya bersuit. “Biru muda mek. Dari si jantung hati?”

“Bisakah engkau hadir di Pegasus, besok Senin, jam empat sore? Yang menunggu, Ira.”

Siapa Ira? Kening Aji berkerut. Seingatnya ia tak pernah punya teman bernama Ira. Apalagi punya affair. Hm. Siapa ya?

“Siapa sih?” Huh. Dipelototinya Tuti dengan dongkol. Adiknya melebarkan bibir, mencibir.

“Rahasia ya?”

“Undangan,” jawab Aji loyo, menyelipkan kembali surat biru muda itu ke sarangnya.

“Undangan? Leilamu kawin?”

“Ehm…. Tidakkah lebih baik kau mengurus resep masakanmu itu, sambil merencanakan acaramu dengan si Luki, pacarmu itu?”

Adiknya cuma berhehehe.

“Hehehe….cewek ya? Simpananmu?”

Kalau saja, dia bukan adiknya…… Kalau saja dia bukan si kunyuk itu…… Dia menarik napas dalam-dalam. Ditimangnya amplop putih itu. Siapa orang ini? Hadir atau tidak hari Senin nanti? Bagaimana kalau tak hadir? Tapi bagaimana kalau dia menungguku di Pegasus sampai jauh malam? Jangan mengecewakan orang, Ji, katanya pada dirinya sendiri. Lagipula, hehehe…… siapa tahu kau dapat pengganti dari Leilamu yang mangkir itu.

&&&&


Gadis itu duduk di meja sudut, dekat akuarium. Mengenakan gaun berwarna biru dengan hem warna serasi. Dia berkaca mata. Cantik. Aji tak akan menduga bahwa gadis itulah yang menunggunya, kalau dia tidak menyapanya.

“Hai,” sapanya sambil berdiri menyentuh lengan Aji.

“Hai,” Aji masih bengong. Tapi tangannya sudah diseret ke meja sudut itu.

“Kau yang…..?”

Gadis itu, tersenyum.

“Kau kaget kan?” Tanya gadis itu lagi,setelah duduk.

“Memang. Apa kita pernah sebelumnya?” Aji bertanya dengan canggung.

Aji memandangnya lurus-lurus, sampai-sampai gadis itu merasa kikuk dan menunduk.

“Aku tadi hamper memutuskan untuk tidak datang,” kata Aji.

Dia menuangkan teh ke dalam cangkir kosong di depan Aji.

“Kalau kau tak datang, aku sangat kecewa,” katanya.

“Itulah yang kupikirkan, sehingga aku memutuskan datang,” Aji meletakkan kedua tangannya di meja. “Apa yang bisa kubantu?”

Gadis itu menunduk lagi.

“Aku butuh pertolonganmu.” Buset. Suaranya melantun, berdesah dan lembut. Butuh pertolonganku? Pertolongan apa?

“Sudah lama aku memikirkan. Tak ada siapapun yang bisa menolongku. Kecuali engkau.”

Dia mengangkat kepalanya.

Jadi, tidak keliru. Dia memang serius, membutuhkan pertolonganku. Tapi pertolongan apa?

Aji menggeleng-gelengkan kepalanya. Selama hayat dikandung badan, baru sekali inilah, dia menghadapi kasus semacam ini.

“Kau tidak sedang meledekku kan? Aku ini apa sih?”

Aji mencoba tersenyum. Dibuat-buat. Tapi ia malah gelisah tak menentu. Debar jantungnya seakan-akan makin bertalu-talu. Dipandangnya lagi gadis cantik di depannya. Memang tak bercela. Diam mematung pun, dalam keadaan normal, dia akan tertarik. Tapi kini, dia malah menantangnya. Dia membutuhkan pertolongannya. Jadi apa boleh buat. Dia harus mempratekkan teori-teori drama yang pernah diperolehnya.

Aji mulai menata gesture-nya.

“Baiklah,” katanya, menahan berat suaranya yang dibuat berwibawa. “Kau mau meminta pertolongan apa?”

“Aku sedang patah hati.”

Patah hati? Hampir-hampir tangan Aji menumpahkan cangkir teh di depannya, kalau dia tidak bisa mengendalikan emosi. Fantastis, gerutunya dalam hati. Aji sungguh-sungguh terkesima.

Ditatapnya lekat-lekat wajah cantik itu. Memang cantik. Wajah lonjong. Berkulit putih bersih. Berkaca mata. Bibir mungil berwarna merah jambu. Dan rupawan. Tapi patah hati? Sungguh, fantastis.
Sungguh, sulit dipahami. Sompret betul. Kasihan betul.

Betapa Tuhan sering tidak adil betul. Atau adil? Agar yang tidak cantik segera menikah. Dan yang cantik begini jadi perawan tua? Fantastis. Patah hati. Patah hati. Tapi aku kan bukan psikolog? Darimana dia punya ilham menulis surat untukku dan meminta saranku dalam soal patah hati? Darimana dia mencatat alamatku? Dari buku telepon? Tak ada. Nothing. Atau, buku telepon itu sudah diganti? Tapi kapan? Kenapa tak ada pemberitahuan sebelumnya dari Telkom?

“Ira, ehm…..aku …. Aku sungguh tidak tahu. Aku memang pernah patah hati. Aku juga pernah belajar psikologi. Tapi sungguh aku tidak bisa menolongmu,” kata Aji terbata-bata.

“Tolonglah saya. Tolonglah. Hanya engkau yang bisa,” katanya.

Dia menunduk lagi. Kesempatan ini digunakan Aji untuk menarik napas dalam-dalam.

“Kalaupun aku bisa, tentu aku tidak bisa menjawabmu sekarang ini. Perlu waktu, sehari dua.. Tidak bisa gegabah,” alasan Aji.

“Tapi aku butuh sekarang. Sekarang juga. Tidak bisa ditunda-tunda.”

Dia ingat teori drama itu. Jadi, apa boleh buat. Aji mulai memainkan mimiknya.

“Baiklah,” katanya. Padahal hatinya dongkol setengah mati.

“Jadi kau patah hati, hm?” tanyanya memancing reaksi gadis itu. Suaranya sengaja dibuat-buat. Biasa. Supaya berwibawa.

“Baiklah. Hapus kemurunganmu. Tersenyumlah. Nah, kau tak akan patah hati lagi.

Tapi jika kau tak bisa mempratekkan saran-saranku itu, kau kan bisa, ya seperti sekarang ini, kau kan bisa datang ke gelanggang mahasiswa, atau masuk klab diskotik, atau jadi anggota perpustakaan, atau….. ya, kukira segala macam hal bisa kau lakukan supaya kau melupakan kesedihanmu. Hm…. gadis secantik engkau, sebetulnya sungguh tidak lucu, untuk patah hati.”

“Lalu ?”

Sompret. Dia antusias betul

“Lalu ? Lalu ya, kau tidak akan patah hati lagi. Sebab di situ kau akan berkenalan dengan cowok-cowok, dan kau tentunya bisa memilih salah satu diantaranya, dan lalu, kau akan berpacaran lagi. Dan dengan sendirinya, kau akan bisa melupakan si laknat itu. Benar laknat kan ?”

“Siapa ?”

“Tentu saja, laki-laki bekas pacarmu itu.”

“Memang,” tangan si gadis cantik itu tampak meremas-remas saputangannya. Kelihatannya gemas.

“Tapi, apa yang harus kulakukan sekarang ini ?”

“Itu saja. Kan cukup ?” Sebetulnya Aji memang ingin segera angkat kaki. Di Century, filmnya bagus. Thief of Heart. Dapat bintang satu di Kompas. Pemeran ceweknya, konon yahud.

“Tapi aku ingin, sekaligus membuatnya terjengkang.”

Wah. Wah. Betul-betul eksentrik.

“Baiklah.” Aji menyabar-nyabarkan hati. “Aku punya kenalan seorang fotografer majalah remaja. Mau kau kuperkenalkan dengan dia ?”

“Berkenalan dengan fotografer itu, lalu…..?”

“Tidak. Dia sudah ber…….maksudku, sudah punya pacar. Maksudku, kau kuperkenalkan. Supaya dia tertarik, dan engkau dijadikan model kaver majalahnya. Setuju? Kau akan popular. Namamu menanjak. Alamatmu dicari-cari. Surat-surat berdatanganke rumahmu. Dan kau bisa ngetop. Nah, bekas pacarmu itu, pasti cemburu. Setuju ?”

Gadis itu cemberut. Seperti hendak menangis. Mungkin tahu Aji menjawab sekenanya. Tidak serius.

“Hm….hm…. kenapa ? Kau tidak setuju dengan saranku ?” Aji memandang lebih lekat wajah cantik di depannya. Hm…. Dia memang cantik. Sungguh. “Hm…..kau tidak setuju ?” Memang. Dia cantik.

Tapi dia sudah terlanjur memerankan tokoh bijaksana. Jadi…. Apa boleh buat. Dibuangnya jauh-jauh
nalurinya yang senang membikin skandal itu.

Menyadari bahwa gadis si depannya sungguh cantik, Aji menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kukira, kau tidak boleh bersedih terus-terusan,” kata Aji.

“Kukira juga.”

“Apakah kau yakin tidak bisa melupakan bekas pacarmu itu ?”

“Kuharap bisa.”

“Kau mencintainya? Maksudku, sangat mencintainya? Sehingga kau mengira, tempatnya di hatimu tak mungkin diisi orang lain ?”

“Entahlah,” kata gadis itu lemah. Seperti berdesah.

“Jadi, tak mungkin diganti? Maksudku, ada pria lain yang menjadi pacar barumu?”

“Aku sudah bilang, entahlah.”

“Tapi kau pasti bisa,” kata Aji, seperti menguatkan hatinya sendiri. Tiba-tiba dia memang berharap begitu.

Gadis itu menengadah.

“Kenapa kau bisa bilang begitu?” tanyanya.

“Tentu saja. Bagiku, terus terang itu tak berarti buruk. Maksudku, engkau tidak sedang mengalami nasib buruk. Kadang-kadang kita memang, seringkali tidak menyadari. Seperti engkau ini. Menyesali. Padahal……..”

“Padahal, apa ?”

“Maksudku…… aku yakin, nasibmu yang kau anggap buruk itu terjadi justru karena Tuhan sangat mencintai engkau. Sungguh, kau sangat cantik. Aku tidak berdusta. Kukira, Tuhan juga sepikiran
denganku. Bahwa kau sangat cantik. Sungguh. Jadi, aku yakin benar, bahwa Tuhan pasti tidak ingin engkau bersanding dengan pria keparat itu.

Tentu saja. Tentu saja. Dia laki-laki keparat kan? Kalau dia tidak keparat, tentu dia tak akan meninggalkan gadis secantik dan selembut engkau”.

Gadis itu tampak terpesona.

“Engkau membutuhkan pengganti.” Kata Aji kemudian, pelan-pelan.

“Itulah hikmah dari nasibmu yang kau anggap buruk ini.”

“Begitu?” bibir merah jambu itu tersungging.

Aji mengangguk mantap.

Gadis itu kini tersenyum. Lampu antik di atas plafond menebalkan kecantikannya yang lembut itu.

“Heran. Rasanya aku pernah berpikir begitu,” katanya tiba-tiba seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. “Kalau aku tahu begitu, mungkin aku memang tak akan pernah mengundangmu ke sini.”

Wajah gadis itu ditentangkan kea rah Aji. Ia tampak tersipu-sipu.

“Kukira, memang begitu. Aku harus punya pengganti, ya ?”

Aji menarik napas sepenuh dada.

Pengeras suara stereo barusan mengumandangkan I Was Born To Love You dari Fredie Mercury.

I Wanna Love You.
I love every little thing about you.

Aji menggeser tempat duduknya. Dia mau beranjak pergi. Dia merasa tugasnya sudah selesai.

“Kemana?” gadis itu, bertanya.

“Nonton.”

“Tidak bisakah kau menemaniku lagi di sini barang lima menit?”

Aji mengerling arlojinya. Lalu mengangguk. Dan duduk kembali.

“Sebetulnya ada yang ingin kutahu,” kata Aji. “Darimana kau peroleh alamatku?”

“Apakah itu penting?”

“Tentu saja. Kau kan bukan reserse?” Aji menyedekapkan kedua tangannya di atas meja, menyingkirkan cangkir teh ke tengah.

“Kau kira aku menemukannya di kolom sahabat pena?”

“Tentu saja tidak. Aku paling benci surat menyurat. Dan, jelas tidak di rubrik jodoh kan? Karena aku memang belum ingin berjodoh.”

“Benar?”

“Tentu saja.” Aji tersenyum nakal. Nalurinya untuk membuat skandal muncul lagi. Dipermainkan kuping cangkir di depannya.

“Aku tahu banyak cerita tentang dirimu, dari si Luki.”

“Luki?”

Berr….. darah di kepala rasanya berdesir ke rambut. Luki? Tentu saja, dia kenal betul. Calon sarjana teknik itu kan pacar Tuti, adik perempuannya? Jadi, dialah yang mempromosikannya pada si cantik ini? Pasti berkomplot.

“Apa yang diceritakannya perihalku?”

Gadis itu tertawa kemenangan.

“Engkau membutuhkan pengganti.”

Sompret.

“Jadi kau percaya?”

“Tadinya aku tidak. Tapi, kemudian aku mempercayainya. Kau tampak frustasi. Tapi kau tetap masih menyenangkan.”

Rasanya hidungnya mulai kembang kempis.

“Sekarang aku bertanya,” kata gadis itu mulai nekad. “Apakah kau juga percaya, pertemuan kita ini juga digariskan Tuhan?”

Aji terpesona. Gadis itu cantik. Berbibir mungil, berwarna merah jambu. Berkaca mata. Hm. Memang cantik. Jadi, kenapa dia harus menampiknya?

“Kukira…..kukira……. He, kau berpendapat begitu juga kan?” tanya Aji.

Ciputat, 1989

PS: Cerpen ini lupa dimuat di mana, dibuat atas pesanan sebuah majalah, ditulis menggunakan nama ibu saya WITA NURYANI sebagai nama samaran. Krn malas saya minta Tina K membuat intronya. Dan seingat saya, dia bikin sampai bagian tanda ***, dan selanjutnya saya.