02 Mei 2009

“ Chat-Room “ : Tempat “Ngerumpi” dan Ketemu Jodoh dalam Komunitas Maya (Thn. 2000)

Kurniawan Junaedhie


Seorang gadis muda Bandung bernama Nathalia, menceritakan pengalamannya bertemu calon suaminya di jagat Internet kepada psikolog Leila Ch Budiman. Waktu masih sekolah di luar negeri, begitu cerita Nathalia, secara kebetulan mereka ketemu di chat-room —itu kamar ngobrol di Internet--- yang dibuat anak-anak Indonesia di seluruh dunia sebagai tempat berkumpul.

Sebagaimana layaknya orang yang berinteraksi di chat-room, mereka kemudian terlibat obrolan. Dari situ, mereka lantas saling curhat, tukar foto, telepon-teleponan, sampai akhirnya saat summer, keduanya pulang ke Tanah Air dan janjian untuk copy darat.

“Awalnya, sih, orangtua menentang sekali,” kata Nathalia. “Mereka menganggap hubungan seperti itu sangat tidak masuk akal. Bayangkan, hanya bertemu lewat Internet, belum tahu benar sifat orang itu kok berani-beraninya bilang mau berhubungan lebih serius.”

Tetapi boro-boro jadi miris, dia malah mengaku tambah excited. “Kita seperti dibawa ke dunia lain. Kita sibuk menerka-nerka, seperti apa tampang dia, tingginya seberapa dan lain-lain. Wah, kalau mengingat-ingat kembali masa tersebut, saya selalu tersenyum-senyum sendiri, menyenangkan….” (Kompas Minggu, 19 Desember 1999)

Chat-room, atau kalau diindonesiakan menjadi bilik ngobrol di Internet, adalah sebuah komunitas imajiner di cyberspace, yang oleh Mark Slouka penulis buku terkenal "War of The Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality" disebut sebagai”negeri elektronik maya” Terdiri atas komunitas swadaya, tak memiliki ruangan, tak tercatat dalam sensus namun dihuni oleh orang dari seluruh penjuru dunia. Dengan segala plus-minusnya, aktivitas chatting di cyberspace bisa dibilang kini telah tumbuh menjadi fenomena tersendiri di kalangan para warga Internet di seantero dunia. Paling sedikit, berbagai survey dan penelitian yang pernah diadakan selama ini menunjukkan bahwa chatting termasuk fasilitas Internet paling populer di antara fasilitas browsing dan e-mail.

Fenomena Cyber

Mengapa komunikasi online ini melengserkan alat-alat komunikasi lain seperti intercom dan radio CB (Citizen Band) yang banyak digunakan orang sebelumnya, salah satunya karena program ini memungkinkan orang bisa ngobrol dengan banyak orang secara simultan dan dalam area yang luas (antar benua) sekaligus. Chat-room juga dianggap medium pergaulan yang pas di tengah berbagai tekanan hidup sehari-hari di kehidupan nyata ini. Juga tak ada persyaratan khusus dibutuhkan untuk ber-chatting selain Anda punya PC yang dihubungkan dengan modem, bisa memencet tombol keyboard dan punya mata yang tahan menghadapi layer PC. Persyaratan tidak ada, yang ada malah potensi ketagihan.

Maklum, bergaul di dalam komunitas virtual ini bisa jam-jaman saking asyiknya. Di antara program chat seperti Pirch dan lain-lain, mIRCH paling populer digunakan. mIRCH gampang digunakan karena berbasis teks. Artinya, pengguna cukup mengetikkan kata-kata pesan di kotak bicara dan semuanya akan berjalan dengan sendirinya.

Sebetulnya masih ada Microsoft Netmeeting yang memungkinkan orang bisa ngobrol dengan siapapun, melalui suara, gambar dan video live. Tetapi berhubung program ini membutuhkan mikrofon, speaker, soundcard serta software yang disebut CU-SeeMe, tak banyak orang menggunakannya. Juga ada ICQ di mana seseorang bisa tahu, siapa saja pada saat bersamaan sedang online yang memungkinkannya untuk mengontak mereka. Dengan program ini, selain bisa melakukan chatting, orang juga bertukar pesan atau URL secara interaktif, dan bermain games secara simultan. Repotnya, untuk terlibat dalam ICQ, orang harus mendaftar dulu, dan memiliki apa saja yang disebut UIN (Universal Internet Number).

Bagi orang yang tidak mau bersusah payah mengetahui istilah-istilah rumit, tentu saja lebih suka menggunakan apa yang disebut web chat, atau program chat yang terdapat di dalam situs-situs web seperti kafegaul, detik.com,mtv.com dan lain sebagainya.

Pendeknya, jika sekali tempo Anda ‘terbang’ ke negeri elektronik maya itu melalui—taruhlah server Internet Relay Chat (IRC) Dalnet , EfNet , Undernet atau apa saja terserah selera Anda, dan mampir ke kanal-kanal seperti #Bawel, ##Warung Pojok, #Indonesia, #WC Umum, #Bandung atau #DancePool, dipastikan Anda akan segera merasa seperti memasuki sebuah ruang diskotek. Memang tak terdengar raungan lagu-lagu disko atau hentakan orang-orang berajojing, tetapi suasana semacam itu akan segera terasa. Anda akan merasakan denyut kehidupan yang penuh bergairah muncul dari dalam sana.

Dan kalau Anda mau pasang kuping (maksudnya, membaca teks-teks pesan yang muncul di situ) maka Anda akan tahu bahwa orang-orang di dalam kamar-kamar chatting itu tengah sibuk bersenda gurau, berdebat, berbisnis, saling curhat, saling memberi nasihat, brainstorming, bermesraan, atau sekedar ngobrol tentang cuaca. Juga… banyak ‘penduduk’ Indonesianya yang cirinya menggunakan bahasa-bahasa gaul Indonesia.

Harap Anda ketahui, orang Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan MasterCard International Maret lalu tercatat sebagai penghuni terbesar kedua dari kamar-kamar chatting, mengungguli rekan-rekannya dari Taiwan, dan kalah dari rekan-rekannya di Jepang.

Tak heran, seorang chatter bernama Edi Liu yang sudah mulai suka chatting sejak tahun 1994, menyebut chatting sekarang sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang muda Indonesia. Hal ini katanya bisa dilihat dari café-café Internet yang tersebar di Jakarta, Bandung, atau Medan. Rata-rata pengunjung kafe-kafe tersebut adalah para chatters yang bisa menghabiskan waktu sekitar dua sampai delapan jam untuk chatting. Tak peduli pria atau wanita, ABG (Anak Baru Gede), mahasiswa atau orang kantoran.

Motivasi mereka untuk chatting beraneka ragam. Mulai dari sekedar ngerumpi soal film yang lagi premiere, pertandingan bola, musik yang baru di-launching samapi urusan yang agak ‘ilmiah’ seperti harga saham, atau soal budidaya kerang laut. Tetapi intinya sama, yaitu saling curhat, melepas penat, dan menghilangkan kejenuhan. Dari status sosialnya, jelas mereka datang dari kelas ekonomi menengah, yang sebetulnya memiliki PC dan modem di rumah. Bahwa mereka menyerbu ke kafe internet, itu karena di rumah dianggap kurang bebas untuk duduk berjam-jam di depan komputer, ngobrol di kamar-kamar chatting.

Popularitas chatting memang menakjubkan, mengingat samapi awal tahun 1990-an saja orang Indonesia masih terbiasa menggunakan alat komunikasi intercom dan radio CB (Citizen Band) sebagai sarana ngobrol dan mencari kenalan. Tetapi sekarang popularitas chatting bahkan sudah melebar kemana-mana. Contoh kecil saja, jika sebelum-nya warga di jagat virtual itu umumnya dihuni kaum pria, sekarang bisa dibilang kaum wanita tergolong warga chat-room yang tak bisa dibilang minoritas. Ini menyebabkan ruang-ruang imajiner itu, tidak hanya menjadi ajang ngerumpi urusan lelaki, tapi juga mulai menyediakan space untuk ajang ngobrol bagi anak-anak, kaum ABG dan kaum wanita. Bahkan---pssst!--- banyak kanal di server IRC yang dipakai kaum wanita untuk membahas dan ngerumpi soal-soal erotis.

Anonim dan Aman

Yang membuat chatting begitu cepat populer bisa jadi juga karena tak ada persyaratan khusus bagi seseorang yang ingin mencoba masuk ke bilik-bilik elektronik itu. Seseorang yang ingin nimbrung dalam komunitas itu hanya perlu menyapa: ‘hi’ atau ‘hallo’, lalu dengan segera semua penghuni yang ada di sana menghampiri, mengajak kenalan, atau ngobrol sesuka hati –selama mata Anda kuat menghadapi layer computer. Dan jika bertemu dengan orang yang cocok, bisa langsung keluar dari ruang publik itu, untuk kemudian diam-diam masuk lagi ke ruang private- melalui tombol DCC (Direct Client on Client), untuk mojok berduaan. Dan kalau di situ obrolan makin gayeng, Anda pun boleh saling tukar foto, atau alamat e-mail.

Seperti ciri kehidupan di cyberspace lainnya, setiap orang di kamar chatting dapat berpura-pura menjadi orang lain, atau bahkan menjadi beberapa orang dalam waktu bersamaan. Itu karena peraturan yang berlaku di chat-room memang mengizinkan seorang partisipan bergonta-ganti nickname atau nama samaran yang nantinya akan ditampilkan di dalam channel IRC sebagai identitas yang bersangkutan.

Akibatnya, jangan kaget bila ada seorang teman yang dikenal introvert dalam kehidupan sehari-hari, di kamar chatting berubah menjadi pria agresif yang berani menggoda lawan jenisnya, dan mengajak kawin. Atau jangan kaget, bila ada seorang cewek konservatif, tahu-tahu dengan berani mengekspresikan perasaannya secara lugas kepada lawan bicaranya yang cowok. Atau, seorang detektif menyamar sebagai gadis cilik berusia 13 tahun, guna menangkap basah seorang pria phedopilia yang dicurigai sering melakukan pelecehan seksual terhadap gadis ingusan yang suka mampir di chat room.

Bahwa akibat dari gonta-ganti nama itu, orang cenderung menjadi tak bertanggung jawab, adalah lain soal. Demikian juga adanya tudingan pakar psikologi bahwa dengan demikian ruang virtual cyberspace itu menjadi tempat orang dengan mudah kehilangan identitas, untuk sementara diabaikan. Karena justru sifat anonimitas itu yang membuat chat-room juga menjadimodel komunitas imajiner yang mengasyikkan sekaligus membuat arena pergaulan maya itu menjadi lebih hidup dan interaktif. Dan dengan sendirinya membuat para chatter merasa leluasa dan aman untuk berteriak, marah, menangis atau menggerutu. Yang terang, banyak orang yang dulu pemalu kini jadi orang yang percaya diri setelah mampir di komunitas cyberspace itu. Banyak yang merasa kemampuan bahasa Inggrisnya—salah satu bahasa yang populer digunakan di chat-room—jadi meningkat. Juga banyak chatters yang kini bisa memiliki ratusan sahabat di seluruh dunia, padahal jika di rumah bertemu tetangga pun sebatas saat membuang sampah di halaman.

Tya Latief, mahasiswi di sebuah PT di Depok, adalah salah seorang di antaranya. Kebetulan saja ia termasuk cewek gampang bergaul, maka di chat-room ia makin menambah koleksi sahabat-sahabatnya. “Teman saya jalan sekarang itu juga ketemunya di chat-room,” katanya sembari tertawa. Arena pergaulan di cyberspace juga bertambah memikat karena di sana sama sekali tak membutuhkan basa-basi melelahkan sebagaimana yang biasa dijumpai di dunia fana. Untuk mengapeli seorang kekasih, atau mendiskusikan rencana bisnis dengan para relasi, para chatters tak perlu bersolek dulu. Banyak orang kencan di ruang chatting sembari mengenakan sarung sehabis bangun tidur, belum mandi dan gosok gigi.

Ruang dan waktu yang di zaman dulu pernah menjadi kendala manusia, di ruang chatting juga praktis sudah menjadi kabur. Seorang chatter di Jakarta tanpa perlu menengok arloji, bisa kencan dengan pacarnya yang pada saat bersamaan berada di Abu Dhabi.

Fasilitas untuk mengirimkan pesan yang ada disertai berbagai simbol untuk mengekspresikan wajah dan menggambarkan keadaannya kepada lawan bicara, dan ini makin melengkapi gambaran ‘realitas’ ruangan imajiner tersebut. Dengan demikian melalui symbol-simbol yang disebut emoticon itu, Anda bisa tahu bahwa lawan ngobrol Anda sedang flu atau seorang perokok.

Di dalam chat-room memang ada aturan mainnya. Misalnya saja, jika masuk ke kamar chatting, jangan asal nyelonong aja. Sebaiknya, beri salam dulu. Atau kalau Anda mau mundur dari obrolan, jangan langsung ngibrit, sebaiknya ketik gtg alias got to go. Untuk pindah topic obrolan tulis btw alias by the way. Kalau mau memberikan nasihat, sebaiknya awali dengan kata-kata IMHO, singkatan dari In My Humble Opinion. Untuk menunjukkan Anda tertawa cukup mengetik :))), menjulurkan lidah ketik :-P, sedangkan untuk menunjukkan mulut kita menganga ketik<> atau tidak suka dengan menulis simbol “Cyberlove” dan “Cybersex”

Memang salah besar menganggap romantika kehidupan di jagat cyber hanya melulu berisi cyberlove belaka, seperti yang dialami Nathalia, meski kisah yang mirip dalam film "You’ve Got Mail" nyatanya sudah terjadi dimana-mana termasuk di Indonesia. Kafegaul, sebuah situs web populer di kalangan ABG Indonesia, pernah berhasil mempertemukan dua sejoli sampai ke pelaminan. Jika kebetulan menemukan teman kencan yang serius dan jujur, mungkin memang dunia cyber jadi terasa seperti firdaus.

Dewi, karyawati di sebuah kantor di Kawasan Kuningan, Jakarta beruntung mengalami. “Kalau saya sedang menulis laporan yang susah di kantor; dari jarak jauh dia pasti ikut menemani. Asyikkan?” kata Dewi yang mengaku kalau bekerja di kantor selalu meluangkan waktu untuk mejeng di kanal-kanal IRC.

Sialnya, di dalam komunitas imajiner itu banyak juga terjadi apa yang disebut sebagai cybersex, atau . Juga jamak terjadi penipuan, kisah sedih termasuk juga pelecehan seksual.

Juga tidak semua cyberlove berakhir dengan happy ending. Banyak dari alamat e-mail dan nama yang diberikan palsu. Ada pula yang menggambarkan dirinya seperti Robert Redford atau Cindy Crawford, padahal kenyataannya jauh berbeda.

Sudah sering diberitakan adanya gadis-gadis ingusan dirundung patah hati (beberapa di antaranya nyaris bunuh diri) gara-gara jatuh cinta pada ‘seseorang’ yang ditemuinya di chat-room ternyata adalah seorang wanita yang menyamar jadi pria. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa di dalam pergaulan virtual itu pun sesungguhnya ekses yang diperoleh tetap beneran. Tak aneh gaya hidup chatting banyak juga menjadi sorotan. Para psikolog menganggap komunitas cyberspace itu merupakan ‘tempat yang bagus’ untuk memiliki jiwa yang terbelah (divided self), atau krisis identitas karena penghuninya bisa menjadi orang lain dan beberapa orang berbeda dalam waktu bersamaan.

Kecenderungan orang ngobrol soal-soal erotis, atau bertukar gambar porno melalui chat-room, juga sering mendapat kritikan. “Apalagi yang dibahas di ruang-ruang gelap itu, kalau bukan soal seks,” kata seorang psikolog terkenal di Jakarta yang tak mau disebut namanya.

Yang paling sering dikutip di mana-mana adalah kritikan Kimberly Young, penulis buku "Caught in the Net: How to Recognize the Signs for Recovery" yang mengingatkan ancaman bahaya ketagihan Internet. Dia menuding bahwa mereka yang rentan terkena ketagihan Internet adalah para penderita depresi. Di samping itu Young juga menganggap berjam-jam di Internet bisa mengganggu pekerjaan kantor dan merusak hubungan keluarga.

Tentu saja, tudingan itu dibantah beramai-ramai oleh para chatter. Mereka menganggap masuk ke bilik elektronik imajiner itu justru merupakan sarana untuk mengekspresikan diri. “Saya mungkin ketagihan, tapi saya mendapat banyak keuntungan dari situ: teman-teman dan pengetahuan,” ujar seorang chatter yang setiap bulan mengeluarkan hampir Rp 1 juta untuk membayar pulsa teleponnya.

Para penggemar cybersex dan cyberorgasm berkilah, bahwa semua tergantung dari sisi mana memandangnya. “Kalau dipandang sebagai having fun, cybersex bisa mengusir stress dengan masturbasi, kalau dari sisi pengetahuan bisa konsultasi langsung dengan sex therapist. Bagi saya semuanya positif, asal digunakan secara benar,” kata salah seorang pemujanya.

Dan nyatanya, chat-room, komunitas imajiner itu tetap marak. Setiap hari ditaksir ada jutaan orang di dunia, entah di kantor atau di kafe internet, pulang kerja atau pulang sekolah, yang rajin menyalakan komputer untuk berduyun-duyun menyelinap masuk ke dalam alam pergaulan maya itu untuk menikmati kehidupan demokratis, terbuka, aman, dan menyenangkan. Bak kehidupan sosial sehari-hari, wajar kata mereka, di situ ada pertengkaran, selingkuh, cekcok, selain asmara, persahabatan dan senda gurau. *


• Kurniawan Junaedhie, wartawan Kompas Cyber Media


Dimuat Kompas Edisi Khusus terbitan 28 Juni 2000, kemudian dimuat dalam buku "INDONESIA ABAD XXI Di tengah Kepungan Perubahan Global" (Editor: Ninok Laksono), Penerbit Harian Kompas, Jakarta, Agustus 2000


Catatan penulis: Sebetulnya naskah ini --seperti naskah2 saya yang lain-- sudah saya lupakan. Namun ketika membaca ulang kembali, betapa takjubnya saya, karena ternyata perkembangan teknologi informasi yang terjadi di dunia ini pesat sekali. Bayangkan, hanya dalam waktu 7-8 tahun saja, chatting menjadi hal kuno yang menggelikan hati, digantikan blog, dan kemudian facebook yang kini menjadi sebuah fenomena tersendiri bagi warga dunia. Dan selebihnya, saya kira, tidak ada jeleknya artikel ini saya simpan di sini, sekadar sebagai upaya dokumentasi.