Selamat Tinggal tahun 2007, selamat datang tahun 2008. Mudah2an banyak cerita baru yang lebih menarik, menyenangkan dan mengasyikan lagi. Saya tidur semalam pukul 03.00 WIB. Sali malah masih asyik SMS-an dengan teman2nya.
Jelang tahun baru, semalam kami hanya dining out di downtown SMS (Sumarecon Mall Serpong). Tak ada acara khusus. (Anak-anak toekangkeboen malah lebih meriah: beli ayam potong di Hero, dan bakar-bakaran. )
Selain keluarga sendiri, saya ajak Papi, dua adik, satu ipar dan Dani. Untung dapat tempat, di emper trotoar. Maklum, cari tempat untuk 9 orang tidak mudah dibanding cari satu -dua tempat di kesempatan seperti itu. Untung, Ayi punya dua teman, yang bisa dimanfaatkan jasa baiknya untuk men'duduki' 9 tempat duduk. Sayang hujan turun lebat. Jadi suasana agak kurang enak. Suara Gita Gutawa yang lagi live, kurang sedap didengar.
Pulang dari situ, Andi dan Ing --adik dan ipar saya-- masih mampir di rumah, minum Guinness Dark Beer. Persis jam 12.00, kami salam-salaman, dan lihat pesta kembang api dari depan rumah. Yah senang juga, kami bisa meninggalkan tahun lama dengan sejuta kenangan. Mudah2an di tahun baru, lebih asyik lagi.
Besok tanggal 2, rencananya, kami (saya, Maria, Ayi dan Ela) mau ke Bandung. Setelah minggu lalu selama 5-6 hari kami liburan di Bali untuk rayakan Natal (tapi kami kecewa karena tidak kebagian menikmati pantai Kutauntuk bikin tatoo, atau sekadar main pasir karena Kuta diserang gelombang tinggi yang mengangkut sampah), kini giliran kami akan sambut tahun baru di kota kembang yang --astaga, baru teringat-- belakangan juga dijuluki kota sampah tersebut.
Acara pertama, tentu saja, menikmati Sate Chudori di kawasan Stasiun Bandung. Enak euy. Asal Anda tahu, di Jakarta saya coba pantang makan sate kambing, semata untuk bisa menyantap sebanyak-banyak tusuk sate di Bandung.
Sate Chudori sudah saya kenal hampir 15 tahun lalu. Awalnya, waktu jadi wartawan TIARA tugas ke Bandung, saya diajak Ncis, fotografer, makan di sana bersama Julie Erikania. Kemudian ketika zaman pacaran dengan Maria, hampir setiap minggu kami melancong ke situ, sekadar menikmati sate Chodori.
Kini, sampai tahun 2008, puji Tuhan, Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan oleh Yang Di Atas untuk mengajak anak-anak saya, Ayi dan Ela berbagi kenikmatan makan sate kambing itu. Dagingnya tipis, full daging tanpa lemak (istilahnya: daging polos), dibakar secara rare, aduhai nikmatnya, apalagi dengan bumbu kecapnya yang asin-asin khas. Ayi dan Ela bahkan termasuk penggemarnya. Gule kambingnya juga tergolong yahud, kalau lidah saya bisa dipercaya. Sop Sumsumnya saya dengar juga nikmat. Saya cuma pernah lihat Mang Oom, pelawak, menghadapi 2 mangkok besar. Makannya pake pipet, diisep-isep gituh. Tapi saya belum pernah mencobanya. Katanya bagus untuk dengkul seusia saya. Hehehe....***